Aku duduk menunggu di tepi jendela kaca cafe. Cafe ini bernuansa western, didominasi cat & perabot kayu berwarna coklat dan hitam. Aku menyeruput sedikit espresso macchiato yang kupesan. Aku selalu menyukai sensasi rasa kopi ini, yakni cita rasa kopi yang di padukan dengan espresso dan ditambahkan sedikit susu di atasnya.Â
"Hai Sophia," sebuah suara bass memanggil namaku.Â
Akhirnya, sosok yang kutunggu telah tiba : Jason.
"Halo Jason, " aku bangkit dari tempat dudukku.Â
"Apa kabarmu? " sosok pria tinggi tegap itu tersenyum hangat seraya mengulurkan tangannya.Â
"Baik," aku menyambut dan menjabat tangannya.Â
Kami duduk berhadapan. Pria ini tak banyak berubah, wajahnya masih menawan seperti dulu. Dengan alis hitam tebal dan tulang mata yang dalam, disempurnakan dengan hidung yang tinggi bagai dewa Yunani. Hanya garis-garis halus yang mulai tergambar di wajahnya membuatnya menjadi pria dewasa dan matang kini.Â
"20 tahun kita tak berjumpa ya," ia berkata. "Sophia devanka, pacar pertamaku di masa kuliah dulu." Tawanya berderai.
Aku tersenyum. Ya, 20 tahun yang lalu, kami adalah sepasang muda mudi yang saling mencintai. Kami sama-sama berasal dari Jakarta dan berkenalan saat merantau untuk kuliah di kota Yogyakarta. Andri, seniorku di kampus yang memperkenalkanku dengan Jason yang merupakan teman SMA Andri. Aku dan Jason berbeda universitas.Â
Kami berpacaran sekitar 3 tahun. Karena masih muda dan sama-sama ego, kami pun putus. Lebih tepatnya aku memutuskannya. Tapi walau sama-sama keras, kami setia. Kami putus bukan lantaran ada orang ketiga. Murni karena ego khas anak muda. Aku terkekang karena dia sangat posesif terhadapku, sementara di matanya aku keras kepala dan tidak menurut padanya.Â