Di tengah gempuran konten digital yang berubah begitu cepat, salah satu fenomena yang mencuat di TikTok pada tahun 2023 hingga sekarang adalah tren feminine energy. Tren ini mencuri perhatian karena hadir dalam berbagai bentuk, dari konten self-care, tutorial merias diri, video “pacar rumahan” (stay-at-home girlfriend), hingga pembahasan spiritual dan relasi emosional dalam hubungan. Data menunjukkan bahwa istilah feminine energy telah ditonton lebih dari 177 juta kali, dan tagar #feminineenergy sendiri telah mengumpulkan lebih dari 5,3 miliar penayangan. Angka ini mencerminkan betapa luasnya tren ini menjangkau generasi muda, khususnya perempuan dari generasi Z dan milenial.
Namun, dengan meningkatnya popularitas tersebut, muncul pula berbagai pertanyaan: Apakah tren ini sebuah bentuk pemberdayaan atau justru langkah mundur dari perjuangan panjang feminisme? Apakah ini tentang membebaskan perempuan untuk menjadi diri sendiri, atau hanya versi baru dari tekanan sosial berbasis estetika?. Istilah feminine energy merujuk pada seperangkat sifat yang secara tradisional dianggap “feminin” dalam masyarakat, seperti kelembutan, empati, kehangatan, dan sifat mengasuh (nurturing). Namun penting untuk dipahami bahwa feminine energy tidak identik dengan jenis kelamin perempuan ini adalah energi atau ekspresi kepribadian yang bisa dimiliki siapa pun, terlepas dari gender.
Menurut konten kreator TikTok @tresnany_moonlight, yang memiliki lebih dari 1,2 juta pengikut, feminine energy berasal dari hukum alam tentang dualitas: positif-negatif, siang-malam, aktif-pasif. Energi ini adalah kebalikan dari masculine energy, yang identik dengan logika, ketegasan, dan kontrol. Feminine energy justru hadir dalam bentuk kepekaan terhadap emosi, kasih sayang, dan penerimaan. Pakar relasi dan keluarga Shelly Bullard, dalam wawancaranya dengan Mindbodygreen (2022), menyatakan bahwa mengembangkan feminine energy bukan sekadar tentang berpakaian feminin, tetapi menyangkut bagaimana seseorang menerima dan menghargai sisi lembut dalam dirinya sendiri. Energi ini dapat digunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri, memperbaiki hubungan sosial, dan menjadi alat untuk menyembuhkan luka emosional.
Di TikTok, tren feminine energy banyak dikemas secara visual. Para konten kreator berbagi rutinitas perawatan diri, tutorial riasan lembut, cara berpakaian ala “soft girl”, hingga membagikan video tentang kehidupan sebagai pasangan yang perhatian dan penyayang. Beberapa juga menyarankan untuk “mengaktifkan feminine energy” dengan cara memperhatikan penampilan, mengenakan warna pastel, berdandan rapi, dan merawat tubuh. Namun bukan hanya soal penampilan luar, para kreator juga menekankan pentingnya kepribadian seperti rendah hati, peduli, ramah, dan ekspresif dalam menghadirkan energi ini. Menurut Deslima (2020), penampilan dan narasi yang dibentuk di media sosial sangat mempengaruhi cara perempuan memahami dan menampilkan feminitas.
Banyak aktivis feminis modern menyambut tren ini dengan skeptisisme. Mereka khawatir bahwa glorifikasi feminitas bisa memundurkan perjuangan kesetaraan gender yang selama ini berfokus pada penguatan peran perempuan dalam ruang publik, profesional, dan politik. Namun di sisi lain, ada argumen yang menyatakan bahwa feminisme justru mendukung pilihan individu perempuan. Jika seseorang merasa berdaya dengan menjadi ibu rumah tangga, merawat diri, atau tampil feminin, maka feminisme seharusnya mendukung pilihan tersebut. Perdebatan ini menunjukkan bahwa feminisme bukan lagi gerakan satu suara, tetapi ruang diskusi terbuka yang menghargai keragaman cara menjadi perempuan.
Menurut Eagly & Karau (2002), stereotip sosial sering menghambat perempuan dalam peran kepemimpinan karena masyarakat mengharapkan pemimpin yang maskulin. Maka tidak heran jika banyak perempuan merasa harus menekan sisi feminin mereka untuk bisa sukses. Tren feminine energy hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspektasi itu bahwa perempuan bisa kuat tanpa harus kehilangan kelembutannya. Dalam masyarakat kita, konsep maskulin dan feminin telah dikonstruksi secara sosial dan budaya selama bertahun-tahun. Penelitian oleh Prasetyo et al. (2020) menunjukkan bahwa peran gender seringkali membatasi ruang gerak perempuan, di mana maskulinitas diasosiasikan dengan dominasi, dan feminitas dianggap pasif atau lebih rendah.
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Schippers (2020), yang menyatakan bahwa masyarakat cenderung mengaitkan feminitas dengan daya tarik seksual perempuan. Feminitas menjadi sesuatu yang tidak murni lagi karena selalu dilihat dari sudut pandang laki-laki. Bahkan, dalam budaya populer, sifat feminin kadang direndahkan, dijadikan stereotip, atau dianggap sebagai bentuk manipulasi emosional. Namun, tren seperti feminine energy mencoba merebut kembali feminitas sebagai bentuk kekuatan personal, bukan sebagai alat untuk menyenangkan orang lain.
Dalam masyarakat kita, konsep maskulin dan feminin telah dikonstruksi secara sosial dan budaya selama bertahun-tahun. Penelitian oleh Prasetyo et al. (2020) menunjukkan bahwa peran gender seringkali membatasi ruang gerak perempuan, di mana maskulinitas diasosiasikan dengan dominasi, dan feminitas dianggap pasif atau lebih rendah. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Schippers (2020), yang menyatakan bahwa masyarakat cenderung mengaitkan feminitas dengan daya tarik seksual perempuan. Feminitas menjadi sesuatu yang tidak murni lagi karena selalu dilihat dari sudut pandang laki-laki. Bahkan, dalam budaya populer, sifat feminin kadang direndahkan, dijadikan stereotip, atau dianggap sebagai bentuk manipulasi emosional.
Namun, tren seperti feminine energy mencoba merebut kembali feminitas sebagai bentuk kekuatan personal, bukan sebagai alat untuk menyenangkan orang lain. Pada akhirnya, feminine energy adalah tentang koneksi dengan diri sendiri. Ia memberi ruang bagi perempuan untuk tidak merasa malu atas kelembutan, empati, dan kepekaan mereka. Namun, tren ini akan menjadi lebih bermakna jika disertai dengan kesadaran kritis. Perempuan tidak seharusnya merasa harus tampil feminin untuk diterima, dan mereka juga tidak perlu menolak sisi feminin demi dianggap kuat.
Tren ini mengajarkan kita satu hal penting: bahwa menjadi perempuan dalam berbagai bentuknya adalah valid lembut atau tegas, mengenakan gaun atau jas, menjadi ibu rumah tangga atau CEO. Feminisme bukan tentang menghapus feminitas, tetapi mengembalikannya ke tangan perempuan sebagai bentuk pilihan sadar, bukan paksaan budaya.
Untuk memahami fenomena ini secara lebih mendalam, pendekatan teori feminisme interseksional menjadi sangat relevan. Istilah ini diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw dan mengajak kita untuk melihat bahwa pengalaman menjadi perempuan tidak pernah tunggal. Ada perempuan kulit berwarna, perempuan miskin, perempuan dari komunitas adat, atau perempuan dengan identitas gender yang tidak normatif, yang semua memiliki cara berbeda dalam memahami dan mengekspresikan feminitas. Maka, ketika tren feminine energy hanya direpresentasikan oleh perempuan urban, berkulit terang, dengan akses ekonomi dan sosial tertentu, kita patut mempertanyakan sejauh mana tren ini benar-benar inklusif dan membebaskan.
Dalam hal ini, teori performativitas gender dari Judith Butler juga memberi pencerahan penting. Butler mengajukan gagasan bahwa gender bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir, tetapi dihasilkan terus-menerus lewat tindakan, ekspresi, dan kebiasaan yang diulang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, menjadi feminin adalah hasil dari ‘performatif sosial’, bukan kodrat biologis. Maka, ketika seseorang memilih tampil feminin, penting untuk menyadari apakah itu benar-benar pilihan otonom atau bagian dari kewajiban sosial yang terselubung dalam algoritma viralitas.
Namun demikian, kita tidak harus serta-merta menolak tren ini. Justru dalam bingkai feminisme kultural, ada ruang untuk merebut kembali atau reclaiming feminitas sebagai identitas yang sah, kuat, dan penuh makna. Jika dulu kelembutan dan kepedulian dilabeli sebagai kelemahan, sekarang perempuan bisa mengubahnya menjadi sumber kekuatan. Misalnya, dengan merawat diri bukan untuk menarik perhatian laki-laki, melainkan sebagai bentuk mencintai diri sendiri dan memulihkan tubuh dari tekanan hidup. Feminitas tidak lagi menjadi simbol ketundukan, tetapi menjadi bentuk lain dari keberanian untuk tampil sebagai diri sendiri dengan atau tanpa pengakuan dari norma dominan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI