Dan hal ini juga kerasa banget waktu Miji ada di samping Hosu. Hosu bukan orang yang gampang dibaca, dia menyimpan rasa bersalah, atau bahkan sakit fisik yang bahkan dia sendiri belum bisa sepenuhnya hadapi. Tapi Miji nggak juga buru-buru ngajak dia "sembuh". Dia cuma ingin selalu ada Hosu. Dia selalu hadir dan tetap disamping Hosu.
Dari situ aku belajar kalau kadang, kita nggak butuh orang yang serba tahu. Kita cuma butuh seseorang yang cukup sabar buat tetap tinggal. Miji ngajarin aku bahwa menemani orang lain yang sedang berjuang itu sendiri adalah bentuk keberanian—karena artinya kita siap untuk ikut merasa apa yang dia rasa.
2. Mirae
Dari Mirae, aku belajar kalau sebegitu pentingnya komunikasi apalagi kalau kita lagi ngalamin kesulitan. Mirae kelihatan sempurna dari luar dengan karirnya yang bagus, hidup teratur, dan selalu bisa diandalkan. Tapi ternyata, di balik semua itu, dia nyimpen banyak tekanan dan luka yang dia pendam sendirian. Dia terus berpura-pura baik-baik saja, sampai akhirnya justru tenggelam dalam rasa lelah dan kehilangan arah.
Dari dia, aku ngerti bahwa nggak semua orang yang terlihat kuat itu benar-benar baik-baik saja. Kadang mereka justru yang paling butuh ditemani, paling butuh dipeluk walau nggak diminta.
Mirae juga ngajarin aku bahwa nggak apa-apa buat berhenti sebentar. Nggak harus terus kuat setiap hari. Dan yang paling penting, jangan ragu buat bicara, apalagi ke keluarga sendiri. Karena diam-diam menanggung semuanya sendiri itu nggak bikin kita hebat. Justru berani ngomong dan jujur tentang apa yang kita rasain itu salah satu bentuk kekuatan juga.Â
Mirae yang merasa lelah dengan berbagai hal yang dia hadapi di Seoul, akhirnya setuju bertukar peran dengan Miji. Waktu Mirae menjalani hidup sebagai Miji, dia bisa tau bagaimana Miji dilihat di mata orang lain, dan juga bagaimana Mirae terlihat di mata orang lain. Dari situ, Mirae mulai menyadari bahwa kadang kita nggak benar-benar tahu bagaimana cara orang lain memandang kita, sampai kita berdiri dari luar dan ngeliat diri kita sendiri dari sudut pandang yang berbeda.Â
Dari Mirae, aku belajar kalau nggak apa-apa kalau nggak selalu nurutin apa kata orang. Karena kalau dipikir-pikir, selama ini Mirae hidup bukan buat dirinya sendiri—tapi buat memenuhi ekspektasi orang lain. Dari ibunya yang selalu mengandalkan dia, dari lingkungan kerja yang menuntut kesempurnaan, sampai pandangan orang-orang yang melihat Mirae sebagai sosok yang "ideal". Padahal di dalamnya, dia capek.
Waktu dia menjalani hidup sebagai Miji—yang lebih bebas, Mirae akhirnya mulai bertanya sebenarnya apa yang dia mau. Dari situ, dia mulai berani melonggarkan harapan-harapan yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Karena pada akhirnya, nggak ada yang bisa benar-benar bahagia kalau terus hidup demi orang lain tanpa pernah nanya ke diri sendiri.