Berpacu dengan jarum waktu, derap meniti sepetak halaman kenang. Rasanya semalam engkau mengetuk pelan. Di pintu paling ujung ingatan.
Tuan, lembar aksara tak sehangat dahulu. Saat kau masih berlari di ujung pena biru. Menjejak kau pada koma, titik, dan segala tanda baca yang berserak. Melahirkan kata-kata pada maknanya yang paling nirmala. Membuat senyum tak pernah hilang dari rona wajahku yang kesumba.
Arkian aksara kususun merupa rentang dalam jarak. Agar sampai padamu utuh, meski mungkin sedikit terlambat. Sampaikah, Tuan? Saat kau baca, aku sudah selesai menghapus derai seloka. Berjibaku menahan rasa ingin bersua yang sangat menggelora. Tapi tenang, Tuan, bumantara kini cerah. Tuhan lukiskan biru benderang beserta baskara dihiasi gemawan.
Sempurna tanpa noktah, kutatap lengkung lazuardi mengawang. Bersenandika, semoga waktu kelak bersimpul. Menyerupa ujung tempat kita mengekalkan rasa. Sublim mengkristal, sebagai pandora rasa yang selama ini mengakar dalam atma.
Tuan, adakah kata yang lebih rindu, dari rindu?Â
- Jakarta, 03 Maret 2020 -