Budaya diskusi, debat gagasan, mambaca dan menulis mahasiswa sudah jauh memudar. Hal itu dapat dilihat dari kualitas makalah yang dihasilkan. Hanya sedikit tulisan yang murni tulisan mahasiswa, kebanyakan adalah hasil copydari google, referensi ilmiah pun hanya seadanya. Diskusi pun terasa tak berkualitas, banyak mahasiswa yang ‘gagap’ saat ditanya dosen. Argumen mahasiswa pun hanya berdasarkan insting dan opini pribadi, jarang sekali yang bersandarkan pada pemikiran tokoh ahli atau argumen yang bersumber dari buku.
Secara infrastruktur, sarana edukasi mahasiswa begitu lengkap. Seperti gedung yang layak, teknologi yang makin canggih dan buku yang mudah didapatkan. Namun kualitas intelektual justru tertinggal.
Dahulu yang terkenal dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah pemikiran Islam. Kampus ini dikenal sebagai gerbong pembaharuan Islam atau basis Islam moderat. Bahkan dikenal istilah ‘Madzhab Ciputat.’ Sebut saja Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Komarudin Hidayat, dan Azyumardi Azra. UIN Jakarta pun dikenal sebagai gudang para pengamat politik. Sebut saja Gun Gun Heryanto, Burhanudin Muhtadi, Ray Panguti, dsb.
Mereka semua tetap eksis dengan pemikiran-pemikiran. Mereka eksis di dunia maya, pemikiran mereka ramai diperbincangkan dan digunakan sebagai rujukan berbagai masalah keagamaan dan kebangsaan. Di dunia nyata, pemikiran mereka ikut membangun Islam dan Indonesia.