Mohon tunggu...
anung sudarmanto
anung sudarmanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berita Sejarah

https://studio.youtube.com/channel/UCT7qAUyy_r9g6ZmOFiuTQ2g/monetization

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gedibrah: Makam Raden Bambang Pudjoseno

1 November 2020   01:30 Diperbarui: 1 November 2020   01:48 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan Layar. (Dok. pribadi)

#Explor_Kebumen #Trending #Sejarah  Gedibrah. 

Demikian tempat yang tak seberapa luas -sekitar 100 meter keliling- itu disebut dengan bahasa ibunya. Tempat ini lebih mirip nukilan rimba sepenggal yang ditaruh di tengah hamparan sawah bagian utara desa Tambakagung, Kec. Klirong. Dari jauh, mirip hutan mini. Dan di musim bediding, ada berselimut halimun tipis di pagi dan sore hari. 

Pandang mata dibebaskan untuk mengambil kesan atas panorama itu. Ada yang mengesankan teduh dan wingit. Tempat ini memang dikeramatkan sebagai pundhen atau lokasi yang dihormati laksana pundi-pundi. Makam Sang Pengadegan Bagian terpenting dari situs ini berisi bangunan makam utama dan sebuah nisan di sebelahnya yang telah mengalami setidaknya dua kali pemugaran. 

Menurut riwayat yang dituturkan sang Kuncen, mBah Kisos; tempat ini adalah makam petilasan R. Bambang Pudjoseno yang dikenal sebagai Sang Pengadegan, keturunan dari Keraton Mataram yang moksa (mukswa) pada masa pengembaraannya. Disebut Gedibrah karena saat hidupnya gemar mengenakan pakaian sejenis jubah. 

Istrinya, Gadung Melati, yang menyusul kepergian suami tercinta, kehilangan lacak dan pada akhirnya juga dimakamkan di kompleks ini. Tak jauh dari sisi timur bangunan makam utama, terdapat pohon vicus dan ditengarai pula sebagai peristirahatan sang abdi atau Pekathik yang disebut sebagai mBah Gendhing. 

Bagi sementara orang, mungkin cerita ini dianggap legenda klasik abad XVII saja. Tapi tidak bagi kisos, lelaki yang mulai nampak uzur dan kini menjadi "kuncen" itu meyakini sejarah di abad lalu. 

Demikian juga beberapa keturunan yang dalam idiom tradisi dipetakan sampai 6 atau bahkan 9 generasi. Dan Sarasilah mengenai Bambang Pudjoseno ini masih ada dokumennya. Kini para keturunan itu telah menyebar di Kebumen sendiri dan beberapa kota di sekitarnya. 

Seperti Gombong, Purworejo, Kemranjen, Purbalingga, Banjarnegara, juga di luar Jawa seperti Lampung, Riau, Kalimantan, bahkan ada yang bermukim di negeri jiran Malaysia, Singapura. Setiap setahun sekali, dengan mengacu pada kalender Jawa dan Hijriyah yang jatuh pada bulan Syura atau Muharam, tempat ini diziarahi banyak orang yang sebagian besar adalah keturunan Sang Pengadegan. Hal ini telah berlangsung bukan hanya selama puluhan tahun. Termasuk di dalamnya para peziarah keturunan Kolopaking di Kebumen dan sekitarnya. Sejak lama tempat ini jadi Pundhen atau tempat yang sering diziarahi. 

Memaknai Pundhen dalam Kearifan Kebiasaan masyarakat tradisional Jawa dalam menziarahi tempat-tempat sekitar tak luput dari pandangan yang berkonotasi negatif. Stigma kemusyrikan, dalam batas tertentu, acap ditimpakan di atas tradisi yang telah demikian lekatnya, dan karenanya telah membudaya. Tetapi adakah kita semua memahami ruh atau spirit apa yang terkandung di dalam kebiasaan umum masyarakat tradisional ini ? Inilah kearifan yang mestinya menghubungkan -bukan mengkonfrontasikan- dua aspek berkebalikan itu. Aspek pelakunya dan sisi stigmatisasinya. Tudingan musyrik terhadap kebiasaan orang dengan menghakimi tanpa memahami essensinya, bisa sama dungunya dengan orang yang menemukan jalan buntu dalam mengembangkan akal sehat. Kini ia memahami wewarah apa yang bisa diambil, karena terlihat nyata, dari keadaan seputar petilasan yang masih berupa rimba kecil di tengah hamparan sawah desa itu. Hal yang paling nyata dari semua fenomena di sana, adalah bahwa ketersediaan air tanah di seputar makam masih tinggi. Buktinya, di puncak kemarau tahun ini, bikin sumur tak lebih dari 2 meter, telah keluar mata airnya. Berbincang dengan mBah Kisos, sang kuncen situs makam Gedibrah serasa menemukan jembatan penghubung dua dunia; fisik dan metafisis. Di seputar lokasi makam, beberapa orang warga desa Tambakagung juga tengah melakukan kegiatan keseharian.  Semoga masih dalam batas kesadaran akan kelestarian lingkungan. 


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun