Mohon tunggu...
Anung Anindita
Anung Anindita Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa Indonesia SMP Negeri 21 Semarang

twitter: @anunganinditaaal instagram: @anuuuung_

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seluas Luka Sedalam Cinta "Anak Santri"

8 Desember 2019   10:53 Diperbarui: 8 Desember 2019   11:11 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/jt2tuwpihi3tj7

Mataku menyapu setiap ruang tunggu bandara. Tidak kulihat lelaki itu. Langkahku belum terhenti karena sibuk mencari. Keyakinanku kuat bahwa ia masih di sini. Bahkan, aku sangat yakin ia melihatku mencarinya. Karena sejatinya memang selalu seperti itu. Ia adalah lelaki yang selalu bisa melihat bahwa aku sudah terperangkap dalam pesonanya, lelaki yang sebenarnya sudah menyadari bahwa aku memang menyukainya. Dan aku, aku hanyalah seorang wanita yang tidak mengerti bahwa tidak sepatutnya aku mempertahankan rasa kepada drinya karena ketidakpantasan.

"Lis?" aku sungguh mendengar suara ringan nan lembut dari balik tubuhku. Aku terdiam. Satu tetes air mata menuruni pipi dengan perih.

"Lis... ini ak," ucapnya terhenti saat aku membalikkan badan. Mataku langsung menusuk matanya, beberapa saat kami berpandangan sebelum akhirnya ia melepaskan pandang, menunduk.

"Aku harus pergi, Lis. Maaf saat ini aku belum bisa mengikuti kemauanmu." Kata-kata Arif seperti garam yang tertabur di atas luka, menyakitkan.

"Ya, memang semuanya hanya keinginanku! Dan hanya karena aku yang ingin, jadi semuanya tidak bisa terealisasi." bentakku merintih.

"Bukan begitu, Lis. Bukan berarti aku tidak ingin, hanya saja aku belum memiliki keberanian itu dan aku sungguh tidak ingin mempermainkanmu, maka dari itu aku bertindak tegas seperti ini." jelasnya dengan terus menatap lantai.

"Tegas? Jelas sekali kamu sangat tegas mempermainkan hatiku."

"Maafkan aku Lis." ucapnya sambil meninggalkanku. Langkahnya yang tanpa ragu meyakinkanku bahwa sebenarnya dia tidak benar-benar menginginkan apa-apa yang aku inginkan. Ia pun tak membalikkan badanya hanya untuk melihatku. Samar-samar kulihat peci putihnya di antara kerumunan orang. Aku menatapnya nanar. Aku merasa sangat kesal dengannya, tetapi di lain sisi aku lebih banyak menyukainya. Aku menyukainya lebih banyak ketimbang membencinya. Tindakan ini hanyalah bukti bahwa cinta itu membutakan.

Dua tahun berlalu, aku masih menjadi mahasiswi semeter tujuh yang saking sibuknya menjadi buntut para dosen pembimbing kini lupa untuk menjalin asmara. Terkadang pada malam hari sebelum tidur aku merindukan bermain kata-kata mesra, aku juga merindukan koyakan tangan di kepalaku, atau sekadar merebahkan kepala kepada bahu seseorang. Namun, semua hal itu hilang seiring terpejamnya mata.

Pagi ini seperti biasa aku menenteng map merah jambu berisi satu bendel skripsi. Kakiku melangkah dengan gembira karena sebentar lagi aku lulus, aku akan menjadi seorang sarjana. Jika semuanya lancar, bulan depan aku bisa wisuda. Semoga hal baik yang akan terjadi akan terwujud sesuai dengan keinginan hati, aamiin.

"Efek patah hati berpengaruh bagus yaa..." goda Manda, sahabatku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun