Masyarakat Indonesia digegerkan oleh kemunculan grup Facebook bernama Fantasi Sedarah, yang memuat konten seksual menyimpang dalam bentuk ketertarikan pada inses atau hubungan seksual dengan anggota keluarga, termasuk anak di bawah umur. Grup tersebut sempat memiliki puluhan ribu anggota sebelum akhirnya ditutup oleh META. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bersama kepolisian juga telah memblokir 30 situs serupa sebagai langkah awal perlindungan ruang digital anak.
Namun, berbagai lembaga pemerhati anak mendesak tindakan yang lebih konkret: penangkapan pelaku pembuat dan penyebar konten, serta pelacakan anak-anak korban untuk segera mendapatkan perlindungan dan pemulihan.
 Apa Itu Inses?
Menurut Komnas Perempuan, inses adalah hubungan seksual antara orang-orang yang memiliki hubungan darah atau hubungan saudara dekat yang melanggar norma hukum, adat, dan agama. Inses termasuk bentuk kekerasan seksual berbasis relasi kuasa, terutama karena pelaku umumnya memiliki kontrol emosional, fisik, dan finansial terhadap korban.
Tiga bentuk inses:
- Parental incest: hubungan seksual antara orang tua dan anak;
- Sibling incest: hubungan antara saudara kandung;
- Family incest: hubungan seksual antara anak dengan kerabat dekat seperti paman, bibi, kakek, atau sepupu, yang memiliki kekuasaan atas anak.
 Bahaya Hubungan Inses
Hubungan inses bukan hanya pelanggaran hukum dan norma, tetapi juga mengandung risiko psikososial dan biologis yang serius:
1. Trauma Psikologis Jangka Panjang
  Korban inses, terutama anak-anak, mengalami trauma mendalam, seperti depresi, gangguan kecemasan, PTSD, dan kehilangan
  rasa percaya terhadap orang terdekat.
2. Ketergantungan dan Ketidakberdayaan
   Karena pelaku adalah figur yang seharusnya melindungi (ayah, paman, dll), korban sering kali tak mampu melapor karena
   ketakutan, ketergantungan finansial, atau tekanan keluarga.
3. Isolasi Sosial
   Rasa malu dan stigma sosial menyebabkan korban menutup diri, menurunkan kualitas hidup, dan memperbesar risiko gangguanÂ
   jiwa.
4. Risiko Kesehatan Reproduksi
   Anak hasil hubungan inses memiliki risiko tinggi terhadap kelainan genetik karena lahir dari gen yang terlalu mirip (inbreeding).
   Hasilnya akan menyebabkan banyak jenis cacat bawaan.
5. Siklus Kekerasan Turun-Temurun
  Korban inses yang tidak pulih secara menyeluruh berisiko mengulangi siklus kekerasan atau mengalami relasi yang tidak sehat di
  masa depan.
 Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024: Kewaspadaan yang Meningkat
- 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2024, naik hampir 10% dari tahun sebelumnya.
- Kekerasan berbasis gender mencapai 330.097 kasus.
- Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP): 330.097 kasus, naik 14,17% dari 289.111 kasus pada tahun sebelumnya.
- Kekerasan seksual: Meningkat lebih dari 50% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan jumlah kasus mencapai 3.166.
- Data spesifik mengenai jumlah kasus inses dalam CATAHU 2024 belum tersedia dalam sumber yang ada. Namun, dalam CATAHU 2022, inses menduduki posisi ketiga dengan 433 kasus dari total kasus kekerasan seksual dalam ranah personal.
 Kekerasan Seksual dalam Ranah Personal dan Inses
Ranah personal, seperti dalam relasi rumah tangga dan hubungan intim, masih menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan, terutama dalam bentuk kekerasan seksual dan psikis.
Pelaku kekerasan seksual dalam rumah paling banyak adalah ayah dan paman, mengindikasikan tingginya kasus inses dalam ranah privat. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban, serta tantangan dalam upaya perlindungan dan pemulihan korban.
 Anak-Anak Bukan Fantasi -- Mereka Harus Dilindungi
Fenomena kemunculan grup Facebook Fantasi Sedarah menjadi gambaran nyata betapa ruang digital kini bisa menjadi ladang kekerasan seksual baru terhadap anak. Di balik layar, ribuan anggota grup tersebut membagikan fantasi seksual terhadap anak-anak---bahkan terhadap anak kandung sendiri---dengan narasi dan gambar yang sangat melanggar batas kemanusiaan. Kasus Fantasi Sedarah memperlihatkan wajah gelap ruang digital yang tidak ramah anak. Dalam masyarakat yang masih tabu membicarakan seksualitas dan relasi kuasa dalam keluarga, korban inses kerap terjebak dalam kebisuan. Negara, masyarakat, dan keluarga harus berani bersikap: melindungi anak, bukan membungkamnya.
Namun lebih dari sekadar pelanggaran etika, tindakan ini merupakan kejahatan serius terhadap hak anak dan pelanggaran HAM berat. Fantasi seksual terhadap anak bukan hanya menyimpang secara moral, tetapi juga menciptakan iklim yang membahayakan perkembangan mental, fisik, dan sosial anak-anak, yang seharusnya tumbuh dalam perlindungan dan cinta, bukan dalam bayang-bayang predator yang menyamar sebagai orang tua atau kerabat.
Dengan hukum yang ada, dukungan publik, dan komitmen negara, keadilan bagi korban bukan hal mustahil---asal ada keberanian untuk bertindak.
Mengapa Anak-Anak Bukan Fantasi?
1. Anak adalah Subjek Perlindungan, Bukan Objek Seksual
  Dalam berbagai hukum nasional maupun konvensi internasional seperti Konvensi Hak Anak (KHA), anak diakui sebagai individu
  yang memiliki hak-hak khusus, termasuk hak atas perlindungan dari segala bentuk eksploitasi seksual. Melihat anak sebagai objek
  fantasi seksual adalah bentuk paling ekstrem dari perampasan martabat dan agensi mereka sebagai manusia.
2. Fantasi Bisa Berujung Aksi Nyata
  Tidak sedikit kasus kekerasan seksual terhadap anak yang bermula dari "fantasi" di ruang maya. Ketika pelaku merasa mendapat
  "validasi" dari grup yang serupa, ia terdorong untuk bertindak di dunia nyata. Artinya, ruang digital bukan hanya mencerminkan
   pikiran pelaku, tetapi juga bisa memperkuat jaringan kejahatan seksual terhadap anak secara terstruktur.
3. Anak Tidak Bisa Memberi Persetujuan
  Segala bentuk relasi seksual antara anak dengan orang dewasa adalah kekerasan, bukan hubungan suka sama suka. Dalam konteks
  inses, situasi menjadi lebih kompleks karena sering melibatkan relasi kuasa ayah, paman, kakek yang menyulitkan anak untuk
  melawan atau melapor.
4. Pemulihan Korban Inses dan Kekerasan Seksual Butuh Waktu Panjang
  Anak yang menjadi korban inses atau eksploitasi seksual sering mengalami trauma seumur hidup. Dampaknya bisa berupa
  gangguan kejiwaan, hilangnya kepercayaan terhadap lingkungan, depresi, bahkan keinginan bunuh diri. Oleh karena itu, negara
  tidak boleh hanya memblokir konten, tetapi juga memastikan dukungan psikologis dan pemulihan korban secara menyeluruh.
5. Normalisasi Kekerasan Harus Dihentikan
   Ketika pelaku menyebarkan konten inses dan "fantasi seksual anak" tanpa mendapat sanksi tegas, hal ini menciptakan normalisasi
   baru seolah-olah kejahatan itu bisa dibicarakan bebas, dibagikan, bahkan dibanggakan. Inilah yang membahayakan masa depan
   anak-anak kita: budaya impunitas atas kekerasan seksual.
 Payung Hukum untuk Menjerat Pelaku
- UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
- - Pasal 76 D: Melarang kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan.
- - Pasal 76 E: Melarang tindakan tipu muslihat, kebohongan, atau bujukan terhadap anak untuk melakukan perbuatan cabul.
Sanksi: Penjara 5--15 tahun dan/atau denda hingga Rp5 miliar. Jika pelaku adalah orang tua, hukumannya ditambah 1/3.
- UU ITE Pasal 27 Ayat 1
- - Melarang distribusi dan akses konten bermuatan kesusilaan secara elektronik.
Sanksi: Penjara hingga 10 tahun dan/atau denda hingga Rp10 miliar.
 Langkah Penegakan Hukum Harus Dipercepat
Meskipun META telah menutup grup dan Komdigi memblokir situs serupa, tindakan ini baru sebatas "pemadaman kebakaran". Negara harus:
- Menangkap pelaku dan pengelola grup Fantasi Sedarah;
- Melacak dan menyelamatkan korban anak, memberikan layanan rehabilitasi sosial dan psikologis;
- Membangun mekanisme deteksi dini terhadap konten kekerasan seksual digital;
- Memperkuat literasi digital dan pendidikan seksualitas berbasis hak anak.
Â
Tanggung Jawab Negara dan Masyarakat
Negara wajib hadir bukan hanya sebagai pemadam kebakaran yang bertindak setelah kasus viral, tetapi sebagai pelindung aktif yang mengantisipasi, mendeteksi, dan menindak tegas segala bentuk kekerasan terhadap anak. Penegakan hukum atas pelaku, pendampingan korban, edukasi publik, serta reformasi platform digital menjadi bagian dari tanggung jawab kolektif.
Masyarakat, orang tua, pendidik, dan komunitas digital juga memegang peran penting dalam membangun lingkungan yang aman dan sehat bagi anak. Tidak ada ruang kompromi terhadap narasi yang membungkus kekerasan sebagai "fantasi pribadi".
 Penutup: Jangan Diam, Jangan Tunda
Kita tidak sedang menghadapi konten biasa---kita sedang berhadapan dengan bentuk kejahatan seksual yang terorganisir dan tersembunyi di balik kemudahan teknologi. Maka dari itu, mari kita tegaskan sekali lagi:
"Anak-anak bukan fantasi. Mereka adalah manusia yang berhak atas cinta, pendidikan, dan perlindungan. Negara dan masyarakat harus berdiri bersama: melindungi mereka---bukan membiarkan mereka dijadikan korban oleh tangan yang seharusnya mengasihi."
Ditulis oleh: Anugrah Fitria Berliannanda, Pekerja Sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI