Mohon tunggu...
Money Pilihan

Dinamika Listrik Bersubsidi

21 November 2015   16:31 Diperbarui: 21 November 2015   16:53 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam  rapat panja banggar DPR, pemerintah telah memutuskan anggaran subsidi listrik dalam RAPBN pada tahun 2016 adalah sebesar 37,3 T. Nilai ini turun sebesar kurang lebih 50% dari APBNP tahun 2015 yakni dari 66,15 T. Pemerintah berdalih kebijakan ini diambil demi meningkatkan rasio elektrifitas indonesia menjadi 100% pada tahun 2019. Secara rata-rata nilai rasio elektrifikasi indonesia memang masih dibawah Malaysia yang memiliki rasio elektrifitas 90%. Pada tahun ini rasio elektrifikasi di Indonesia masih berada pada angka 80%, artinya masih ada 20% dari 250 juta penduduk Indonesia yang belum menikmati listrik. Padahal menurut UU no 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan jelas menyebutkan bahwa pemerintah wajib menyediakan dana penyediaan listrik bagi warga tidak mampu. Sehingga sudah sepatutnya penyediaan listrik di negeri ini harus mencukupi, memiliki keandalan yang baik serta harganya  terjangaku.

Data TNP2K

Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bahwa ada sekitar 24,7 juta rumah tangga miskin dan rentan miskin (RTMRM) yang berhak menerima subsidi listrik. Kenyataan yang terjadi pada tahun ini rumah tangga yang menerima subsidi listrik menurut data Perusahaan Listrik Negara (PLN) ada sekitar 54 juta rumah tangga. Kesimpulannya ada selisih rumah tangga yang sebenarnya tidak layak menerima subsidi listrik. PLN pun menjadikan hal ini sebagai dasar untuk mengurangi nilai subsidi listrik 2016 untuk dialihkan ke sektor pembangunan infrastruktur listrik demi meningkatkan rasio elektrifikasi.

Data dari TNP2K ini mesti diverifikasi lebih lanjut lagi oleh PLN karena masalah listrik ini sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. PLN harus memastikan bahwa rumah tangga yang dihilangkan subsidi listriknya tidak berasal dari golongan yang tidak mampu atau penggiat usaha kecil dan menengah.

Pertanyaannya adalah, apakah PLN mampu melakukan pendataan yang baik dan tepat terhadap konsumen listrik di tingkat 450, 900, 1300, dan 2200 VA dengan waktu yang hanya bersisa beberapa bulan?. Ini merupakan tantangan bagi PLN, karena kondisi dilapangan sangat beragam untuk menetukan rumah tangga yang berhak menerima subsidi atau tidak. Pemisalan pertama, ada seorang pelanggan listrik dengan daya 1300 VA, tinggal di rumah beton, dan memilki kendaran sepeda motor, namun si pelanggan ini taraf hidupnya berada di garis rentan miskin karena sumber pendapatan satu-satunya berasal dari usaha kecil dan menegah serta memiliki tanggungan anak yang lebih dari 3, sehingga suatu ketika usahanya menurun maka taraf  hidupnya dapat jatuh berada dibawah garis kemiskinan. Pemisalan kedua, seorang pelanggan listrik yang memiliki dua petak tanah, satu petak menggunakan daya 1300 VA untuk dijadikan sebagai tempat kosan, dan satu petak lagi untuk digunakan sendiri namun menggunakan daya 900 VA untuk mendapatkan subsidi listrik. Kedua pemisalan di atas sudah tentu berbeda, dan kondisi ini harus dicermati oleh PLN dalam menentukan kebijakan subsidi listrik dengan cara mendata konsumennya secara jeli.

Infrastruktur Kelistrikan

Subsidi tarif tenaga listrik paling banyak disalurkan ke pelanggan listrik daya 450 dan 900 VA. pemerintah harus mengeluarkan dana sebesar 55 T dari 66 T dalam APBNP 2015 untuk subsidi listrik pelanggan daya 450 dan 900 VA. Untuk itu nantinya pelanggan daya 450 dan 900 VA yang tidak termasuk kedalam RTMRM akan dialihkan ke tipe daya 1300 VA (non Subsidi) tanpa biaya penggantian KWh meter atau tetap pada tipe daya semula tetapi tarif per KWh nya akan dinaikkan ke dalam non subsidi. Kebijakan ini akan efektif apabila anggaran pengalihan subsidi dapat digunakan untuk pembangunan infratruktur kelistrikan, sehingga pasokan listrik dapat sampai ke pelanggan dengan baik.

Penetuan Tarif Listrik Dipengaruhi dua hal, yakni pendapatan dari penjualan listrik tahunan, dan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Dimana di dalam BPP ini, infrastruktur menjadi salah satu faktor penentu. Pembangunan infrastruktur listrik yang selama ini terpusat pada pemanfaatan batu bara sebagai bahan bakar pembangkitan sudah seharusnya dialihkan ke pembangunan infrastruktur  pemanfaatan gas atau cahaya matahari. Diversifikasi energi dirasa perlu diakukan melihat ketersediaan energi alam dari sektor energi baru dan terbarukan yang dimiliki indonesia cukup melimpah, seperti gas dan matahari. ketergantungan kepada batu bara seharusnya dibatasi, melihat ketersediaannya di alam semakin menipis. Ditambah lagi harganya yang akan semakin mahal ketika ketersediaan di alam kurang namun permintaan tetap atau semakin meningkat. Ketika itu terjadi maka perushaan batu bara akan semakin mudah dalam tawar menawar harga, hal ini sudah pasti akan berdampak pada penentuan tarif tenaga listrik.

Roda Perekonomian

Masalah kelistrikan  disadari merupakan masalah hajat hidup orang banyak. Roda perekonomian di daerah-daerah sangat dipengaruhi oleh ketersedian pasokan listrik. Target tahun 2019 merupakan sautu keharusan yang dilakukan pemerintah sebagai strategi meningkatkan roda perekonomian daerah. Apalagi pada tahun 2030 diprediksi akan terjadi lonjakan penduduk, yang menurut kebanyakan orang menyebutnya sebagai tahun generasi emas Indonesia. Pada tahun 2030 diprediksi penduduk Indonesia akan melonjak menjadi kurang lebih 300 juta jiwa dengan usia rata-rata 20-40 tahun.  Perekonomian Indonesia harus siap dengan kondisi ini, jika tidak maka yang terjadi adalah timbul banyak pengangguran usia produktif.

Untuk menghindari itu pemerintah harus mampu menjaga roda perekonomian agar terus berjalan. Caranya dengan menjamin pasokan listrik di seluruh Indonesia. Oleh karena itu kebijakan pengalihan subsidi listrik oleh pemerintah dianggap hal wajar yang mesti dilakukan walaupun kemudian hari akan ada perlawanan dari segelintir orang yang merasa dirugikan. Namun yang  dibutuhkan dari kebijakan hanya konsistensi dan transparansi dalam menjalankannya. Konsisten dalam hal peningkatan rasio elektrifitas dengan senantiasa menjaga keandalan dan ketersediaan listrik, serta transparansi dalam hal penggunaan dana subsdi baik dalam membantu masalah kelistrikan RMTM serta dalam hal  membangun infrastruktur kelistrikan Indonesia. Sehingga pada akhirnya generasi emas indonesia dapat disambut bukan dengan panen persoalan melainkan panen kesejahteraan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun