Fira kembali berusaha mencerna perkataan Putra. Dibacanya kembali surat wasiat yang diberikan ibu kepadanya beberapa saat sebelum beliau meninggal.Â
"Menurut ayah, apakah yang dikatakan Putra itu benar? Ibu sebenarnya hanya ingin mesin jahit itu terus digunakan dan bukan memintaku mengikuti jejaknya menjadi penjahit?" tanya Fira pada ayah akhirnya.
Ayah menyesap kopinya. "Iya. Ayah setuju dengan pendapat temanmu itu. Kalau mengingat sifat Ibu, rasanya tidak mungkin dia memaksa putrinya melakukan hal yang tidak disukainya," kata ayah kemudian.
"Iya. Ibu bahkan jarang sekali meminta Fira membantu menyelesaikan jahitan dan membiarkan Fira terus menulis."
Ayah tersenyum mendengar jawaban Fira.Â
"Kalau begitu, Fira boleh tidak melanjutkan belajar menjahit setelah kursus ini selesai?" tanya Fira lagi.Â
"Kalau memang kamu merasa tidak menyukainya, tidak usah dipaksakan. Ayah juga yakin ibunu juga tak berniat memaksamu untuk menjadi penjahit. Tapi bagaimana jadinya kamu memenuhi permintaan terakhir Ibu?" tanya Ayah kemudian.
"Aku berencana menyumbangkannya kepada Oma Nani, Yah. Dengan begitu mesin jahitnya bisa terus dipakai oleh para peserta kursus."
"Ide yang sangat baik Fira. Tapi sekarang ayah jadi penasaran dengan temanmu yang bernama Putra itu. Mungkin seharusnya ayah dikenalkan padanya. Sepertinya kau cukup dekat dengannya," ayah berkata lagi. Kali ini ada nada menggoda dalam suaranya. Fira sendiri hanya bisa tersipu mendengar perkataan ayah.Â