Mohon tunggu...
Anton Suparyanta
Anton Suparyanta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis+Editor Buku; -kiperbukulejen Detik Detik UN- xixixixiixixixiiiiiiii.....

Selalu belajar. Ikuti proses. Panen sukses. =========== yuuukkkkk, direviuuu buku saya ini! cocok utk konten en proyek merdeka belajar. BUKA Buku Baca Buku Cuan Resensi (Diandra, 2022) JENAMA dan Jemawa, selilit esai dan kritik sastra (Beranda Intrans Publishing, 2023)

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

/mangun/, /wastu/, /wijaya/: Tak Ada Pepesan Kosong di Papua

11 Mei 2023   13:11 Diperbarui: 11 Mei 2023   13:21 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencari pepesan kosong hingga Papua.  dokpri

Y. Wastu Wijaya itu nama pena YB Mangunwijaya. Mengapa novel ini menggunakan nama pena? Mengulik wawasan kata, sebetulnya diksi /wastu/ dan /mangun/, serta /wijaya/ mengemban arti yang begitu semerbak untuk spiritualitas hidup. Terasakah denyar manikamnya? Apalah arti sebuah nama, ukir penyair lejen William Shakespeare?

Sungguhkah arti nama dalam novel Romo Rahadi ini memancarkan penghayatan hidup? Ataukah justru menjadi kedok persembunyian pribadi? Sinetronkah? Dunia melo telenovelakah? Yang pasti 1 diksi 1000 arti di jemari Romo Mangun.

YB Mangunwijaya atau Romo Mangun begitu berjenama dalam pusar sastra Indonesia. Romo Mangun adalah kampiun karakterisasi novel ketika menelikung tokoh cerita. Sebagai rohaniwan atau pastor, Romo Mangun sungguh jago mengolah iman dan bahasa kasih melalui corong tutur tokoh. Bahkan, kematian seseorang cakap dikerangkakan membungkus kisahan yang menawan. Tak jemawa untuk dikatakan “sok-suci”. Bahasa sederhananya, hidup kita itu pasti beraroma religiusitas, tanpa mengecualikan agama dan aliran kepercayaan tertentu.

Munculnya kisahan novel Romo Rahadi ini secara awam baru sebatas dipandang sebagai kontekstualisasi liku-liku laki-laki yang hidup wadat secara sah hukum agama yang diimaninya. Justru terapan hidup yang senyatanya belum dikupas secara mendalam. Setidaknya ada beberapa lakon hidup yang begitu krusial justru lepas dari amatan.

Pertama, novel ini mengisahkan tiga tokoh penting. Rahadi sebagai romo, pastor, imam, atau rohaniwan. Hildegard sebagai teman Rahadi ketika di Jerman. Rosi sebagai dokter yang menyandang status janda kembang, mantan kekasih Rahadi. Sesungguhnya, Hildegard dan Rosi menjadi dialektika (dinding pemantul) kekukuhan iman Rahadi. Pandangan yang keliru jika dua perempuan ini dicap sebagai wanita penggoda (flirt type). Romo Mangun justru menjungkirkan kekeliruan itu. Justru perempuan itu menjadi tembok kukuh Rahadi tetap di jalan Tuhan.


Kedua, pembelajaran seksualitas di dalam keluarga itu penting sejak anak-anak. Rahadi ditempa maturitas kedewasaan justru dari kakak kandungnya yang bersekolah di ilmu keperawatan. Maturitas Rahadi justru lembek jika dimaknai dari pola asuh orang tua yang masih tergolong ningrat. Ibu bapaknya santun gaya keraton Jawa, istanasentris. Tempaan lingkungan dan ilmu pengetahuan bermasyarakat yang menggiring Rahadi menjadi rohaniwan.

Ketiga, cara Rahadi mengolah cinta yang sejati. Bukankah kita punya lingkaran cinta eros, storge, phileo, dan agape? Atau aras hablunminallah dan hablunminanas? Rahadi dihadang pesona cinta Hildegard dan Rosi. Justru dua perempuan ini penyelamat cinta Rahadi. Inilah dialektika cinta Rahadi yang sudah tertahbis menjadi pastor.

Keempat, kematian tokoh menjadi pecundang cerita. Hildegard sesungguhnya sudah disiapkan mati di awal kisah. Tengara mati ini terbukti di akhir cerita agar cinta Rahadi kepada Rosi mengembang. Namun, cinta eros Rahadi dimatikan Rosi si janda kembang.    

Kematian acapkali menjadi debat sengit selagi nyawa dicabut dari tokoh. Itu tak manusiawi. Itu titik lemah pemecahan masalah sekaligus jalan buntu si pengarang. Kala itu contoh kritik pun jatuhlah kepada Maria dengan TBC dalam novel Layar Terkembang garapan Sutan Takdir Alisyahbana. Takdir menakdirkan Maria harus mati agar hasrat cinta Tuti-Yusuf terpenuhi. Ada tumbal demi logika kisah.

Premis penyakit, kematian, dan pembunuhan menjadi trik gampang pengadeganan. Demikian jugakah kematian tokoh dalam novel Romo Rahadi ini? Paradoks kematian dalam novel ini luput dari sergapan kritisi.

Kelima, di balik tikungan narasi, tokoh Didi “limbung” iman. Goyahkah iman Didi? Iman Didi sungguh mendapat cobaan sepele, tetapi mahadahsyat. Cinta memang bisa bikin rabun segala sehingga tuaian akhir sering terjebak dalam pepesan kosong. Konflik diri inilah membawa Didi dalam suasana abu-abu.

Banyak tikungan ambisi dikisahkan Romo Mangun. Melalui satire protagonis Romo ‘Didi’ Rahadi; praktik iman, pengharapan, dan kasih (cinta) membalut alur. Alur tercipta karena dua paparan utama tentang petualangan. Pertama, Didi remaja bertualang laiknya anak milenial kini yang mengenyam cinta monyet SMP hingga seminari (hlm 212). Kedua, Didi muda mengelana ke Jerman demi cinta studi kerohanian. Didi mengukuhkan diri secara janji imamat untuk hidup membujang dengan meterai hidup selibat (hlm 15).

Puncak tualang tersebut mengantarkan Didi untuk menimbang kembali makna penuh tentang selubung hidup. Didi memutuskan memati raga ke Irian (Papua). Kebetulan kakaknya berdomisili di sana.

Kegentingan terjadi. Tersulutlah bara cupido hasrat Didi dengan Hildegard dan Rosi. Hildegard adalah permainan simpati cinta Didi selagi bertugas studi di Jerman. Didi adalah imam yang memisikan cinta, sedangkan Hildegard adalah perempuan cantik enerjik yang kering dan haus cinta (hlm 62-63). Rosi adalah sahabat dan pacar Didi kala remaja dusun. Rosi anak semata wayang yang matang dalam asuhan cinta keluarga. Kembali Didi dilematis dalam pertarungan asmara Hildegard dan Rosi.

Kini tubir cinta Didi menyatu di bumi Irian. Muncul seteru yang jenial. Didi, Hildegard, dan Rosi “berlari” karena menghindari cinta masing-masing, tetapi ditemu-benturkan kembali. Sejatinya, Didi ingin menimbang hidup imamat ataukah copot jubah. Hildegard ingin menghapus noktah Didi di hatinya dengan ikut kerabatnya riset di Irian. Rosi ingin melupakan pelabuhan hati Didi dengan menjadi misi dokter di pedalaman Irian.

Titik kisahannya justru Hildegard mati karena dilukai oknum suku pedalaman yang sakit hati terhadap bule. Sis, suami Rosi, mati karena tertimpa kecelakaan. Eros Rosi pun mati terhadap Didi. Lalu, kemanakah cinta-mati Didi?***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun