Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bahasa, Sejarah (dan Pancasila)

27 September 2020   18:57 Diperbarui: 27 September 2020   19:11 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

(Lanjutan tulisan terdahulu yang berjudul "Mapel Sejarah:"Disisipkan Agar Lebih Dicintai.")

"Bahasa itu semacam seni sosial"- WV.Quine
"Pengetahuan itu bukanlah representasi realitas"- Richard Rorty

Willard Van Orman Quine (1908), seorang filsuf Amerika lulusan Harvard telah "mengguncang" fondasi ilmu bahasa, yang konon, (fondasi tersebut) merupakan "alihan" turun-temurun dari inti  (ajaran ) karya Plato berjudul "Cratylus".


Fondasi yang telah sedemikian kokoh ini, tiba-tiba lantak oleh penegasan oleh Quine bahwa bahasa tidak berurusan dengan relasi antara obyek dan penanda  verbal-nya. Bahasa hanya membahas pengetahuan tentang apa yang (harus) diucapkan dan kapan (dalam situasi apa) kita mengucapkannya; dan dengan demikian, bahasa jadi semacam seni-sosial. 

Pendirian revolusionernya bahwa bahasa adalah seni-sosial ia tulis dalam bentuk "essay" yang berjudul "Ontological Relativity". Menurut penulis , inilah aroma pemikiran strukturalis yang mulai tumbuh pada era Quine.

Kembali ke Plato, dalam karyanya yang berjudul "Cratylus",  disimpulkan  hasil pemikiran, yakni  simpulan tentang adanya relasi antara makna kata dan obyek  (yang dirujuk); makna kata, sedikit-banyak, mengandung rujukan ke salah satu ciri atau obyek. 

Keyakinan Plato tentang keterkaitan kata dan obyek tersebut tidak  akan pernah tergoyahkan dan selalu kita "amini",  selama perspektif atomistis masih menjadi titik tolak pemikiran.  

Sudut pandang atau filosofi atomistis memandang realitas sebagai keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian "diskrit" (kesatuan terpisah, berdiri sendiri, atau non-kontinyu) yang mana bagian tersebut tidak mungkin terbagi/tereduksi lagi ("irreducible"); dari sudut pandang ini, bagian  atau "atom" lebih nyata (menonjol) daripada keseluruhannya. Implikasi dari penonjolan bagian (atom) yang bersifat diskrit (mandiri) ini adalah kecenderungan ke arah visi organisasi; semua bagian-bagian  "riil"  ini, atau atom-atom, kemudian menjalin hubungan  satu sama lain melalui cara dan sarana organisasi. 

Paradigma (berpikir) atomistik ini, yang  menonjolkan THINGS,  kemudian tumbuh kembang (bersama) dalam tradisi sains dan humanistik , dan salah satu fondasi dari tradisi  ini adalah keterkaitan antara kata dan obyeknya. 

Hal lain yang merupakan dampak  (konsekuensi) ikutan dari gaya berpikir atomistis (THINGS)  ini adalah menonjolnya kecenderungan berpikir historis (Diakronik); visi hidup digambarkan hanya sebagai garis lurus, garis hidup yang merentang  di antara masa lalu dan masa depan;. 

Yang selalu ditonjolkan oleh para penganut  atomistic  (THINGS)  ini adalah "klaim"  -nya pada  pengetahuan tentang  "asal-usul" (Sangkan Paraning), alih-alih pengetahuan tentang  struktur. Tokoh radikal anutan gaya berpikir  "asal-usul" ini adalah Sartre ;"Eksistensi mendahului esensi."

Sedangkan titik tolak organismik memandang realitas  sebagai totalitas, seperti realitas  pada organisme; dalam organisma, -keseluruhan-lah yang  nyata-, bagian hanya mungkin menjadi nyata (riil), bila bagian tersebut terkait satu sama lain (antar bagian) dan terkait dengan keseluruhannya. 

Implikasi dari titik tolak  pemikiran organismik adalah kecenderungan ke arah "aggregation" (aggregate -- seperti pada pengerahan massif/massal, istilah jawanya "anut grubyug" ).  Paradigma (berpikir) organismik ini kemudian tumbuh dalam tradisi strukturalisma yang berfondasi pada peranan "relasi".

Dalam tradisi strukturalime  organismik  radikal,  tidak dikenal apa yang disebut "THINGS" , alih-alih "RELATIONSHIP".  Para penganut strukturalisme dan poststrukturalisme selalu berpegang-teguh pada pendirian bahwa OBYEK  itu selalu  dalam status  antara "ada dan tiada" (presence and absence); artinya, obyek tidak pernah berada secara "utuh" (An object is never fully  "There" ;  it is there, to the extent that it appears before  us, but it is  Not there in so far as it's being is determined by  it's  relation).

Terhadap keseluruhan sistem yang menaungi dan merelasikan antar bagian,  si bagian itu sendiri tidak pernah dapat melihat /mengetahui  atau menyadari (dampak) sistemnya. 

Sehubungan dengan ini,  setiap  "obyek" , bahkan dalam status "kuasi ke-takberadaan-nya" ("quasi-absence"), sudah mencerminkan keseluruhan sistem-nya;  dan keseluruhan sistem  (total-system), juga selalu telah hadir/ada  dalam setiap bagian-nya.

Seorang filsuf kekinian yang lebih pragmatis, yakni Richard Rorty bahkan berpendapat bahwa pengetahuan bukan-lah representasi realitas. Dalam gagasan beliau yang "antirepresentasionalime" , tidak lagi diperlukan pemisahan tegas (mediasi) antara pemikiran dan dunia.

Dalam hal (konsep-nya)  ini, terkandung pengandaian bahwa pemikiran sudah selalu berinteraksi secara kontinyu dengan dunia. Artinya, Rorty sedang mengontologikan ketidakterpisahan antara skema dan konten pengetahuan di dalam arus kontinuitas interaksi tersebut. 

Bentuk radikalisasi ketidakmungkinan pemisahan skema dan konten pengetahuan adalah dengan menyatakan tidak masuk akal untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait kebenaran pengetahuan atau struktur kognitif kita. 

Lebih jauh, tidak ada yang dianggap sebagai  justifikasi dalam antirepresentasinalisme tanpa mengacu pada konteks di mana subyek tersebut hidup, sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan mana yang lebih benar bukan merupakan persoalan yang urgen.

Dalam situasi sosial,  apa yang lebih penting adalah mana yang lebih "mengembangkan"  kita -- istilah mengembangkan ini mengacu pada bentuk kemajuan kehidupan bersama. 

Masih menurut beliau, justifikasi tidak berkaitan dengan konteks universal, melainkan hanya merupakan soal konsensus dan efektivitas sebagai praktik sosial yang kontekstual. Jadi, dalam era kekinian, menurut  penulis, kita sebaiknya menghindarti jebakan-jebakan konsep universal yang mengabaikan konteks.

Kembali ke strukturalisme, pengaruh gaya pemikiran seperti  inilah yang memunculkan fenomena aneh pada pembelajar sejarah (dan atau  ideologi Pancasila). Tanpa harus dikaji secara khusus, kita semua telah "teresapi"  oleh semacam jiwa sejarah dan jiwa ideologi Pancasila. 

Pada saat keduanya (sejarah dan Pancasila) dijadikan obyek kajian khusus, maka si pembelajar dan si pengajar harus berada dalam tingkat arus intens komunikasi tertentu, alih-alih bersikap saling "mengasingkan/mengobyektifkan" (seperti dalam lingkungan pemikiran sains dan humanistik). 

Dalam hal pengajaran sejarah dan Pancasila, kedua pihak (pengajar dan pembelajar) lebih berperan seperti sang pertapa "spiritualis"  dengan pengikutnya, si pertapa harus mampu mengondisikan para pengikut beliau ke dalam cara pandang uniknya, dan si pembelajar harus bersedia dan berkeinginan (spontan) untuk melihat cara pandang sang pertapa. 

Tanpa adanya sinkronisasi dari kedua belah pihak, proses pengajaran sejarah dan atau ideologi (Pancasila) akan sia-sia ; contoh, apa hasil dari penataran P4 di era Orba bila bukan sekedar drama kolosal di bidang pendidikan. 

Contoh lain, pada kuliah psikologi anak yang mahasiswanya kebetulan sudah berkeluarga dan beranak (cucu); maka si dosen pengajar pertama-tama harus menetapkan sudut pandang posisinya sendiri (misalnya, pendekatan yang dipakai adalah hanya pendekatan keperilakuan) sebelum memaparkan isi kuliah lebih lanjut, dan para mahasiswa "diandaikan" harus sudah menerima asumsian posisi si pengajar, tanpa sinkronisasi seperti ini hanya akan berkembang semacam "rumor"; ingat saja kasus ucapan plesetannya puteri ibu Megawati tentang "mendukung Pancasila" yang dijadikan sasaran isu politisasi.

Karena para pendukung ajaran strukturalisme  berpatok pada klaim untuk menyingkapkan "struktur"  permanen dibalik atau di bawah THINGS  (alih-alih  pengetahuan tentang "asal-usul"), maka  gaya analisis pemikiran mereka  bersifat anakronis (ahistoris), alih-alih diakronik (historis).  

Kaum praktisi strukturalisme  yang paling radikal, bahkan menyangkal  arti penting sejarah; bagi mereka, tradisi pun bersifat ahistoris, mereka tidak pernah merindukan budaya primitif, dan yang jelas budaya seperti  itu sudah jadi korban perubahan.

Implikasi lain dari gaya berpikir strukturalisme adalah menguapnya apa yang kita yakini sebasgai eksistensi, yang ada tinggal esensi, konsep manusia pusat pemikiran langsung tenggelam dalam kubangan struktur umum.

Berdasarkan argumen di atas, penulis berharap ada banyak masukan terkait persoalan mapel sejarah yang sedang mengemuka akhir-akhir ini.  Terima-kasih dan salam sejahtera!

Sumber:
Structuralism and Post Structuralism for Beginners by  Donal D Palmer
Teori Kebenaran dari perspektif Richard Rorty -- disertasi Fristian Hadinata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun