Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bahasa, Sejarah (dan Pancasila)

27 September 2020   18:57 Diperbarui: 27 September 2020   19:11 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sedangkan titik tolak organismik memandang realitas  sebagai totalitas, seperti realitas  pada organisme; dalam organisma, -keseluruhan-lah yang  nyata-, bagian hanya mungkin menjadi nyata (riil), bila bagian tersebut terkait satu sama lain (antar bagian) dan terkait dengan keseluruhannya. 

Implikasi dari titik tolak  pemikiran organismik adalah kecenderungan ke arah "aggregation" (aggregate -- seperti pada pengerahan massif/massal, istilah jawanya "anut grubyug" ).  Paradigma (berpikir) organismik ini kemudian tumbuh dalam tradisi strukturalisma yang berfondasi pada peranan "relasi".

Dalam tradisi strukturalime  organismik  radikal,  tidak dikenal apa yang disebut "THINGS" , alih-alih "RELATIONSHIP".  Para penganut strukturalisme dan poststrukturalisme selalu berpegang-teguh pada pendirian bahwa OBYEK  itu selalu  dalam status  antara "ada dan tiada" (presence and absence); artinya, obyek tidak pernah berada secara "utuh" (An object is never fully  "There" ;  it is there, to the extent that it appears before  us, but it is  Not there in so far as it's being is determined by  it's  relation).

Terhadap keseluruhan sistem yang menaungi dan merelasikan antar bagian,  si bagian itu sendiri tidak pernah dapat melihat /mengetahui  atau menyadari (dampak) sistemnya. 

Sehubungan dengan ini,  setiap  "obyek" , bahkan dalam status "kuasi ke-takberadaan-nya" ("quasi-absence"), sudah mencerminkan keseluruhan sistem-nya;  dan keseluruhan sistem  (total-system), juga selalu telah hadir/ada  dalam setiap bagian-nya.

Seorang filsuf kekinian yang lebih pragmatis, yakni Richard Rorty bahkan berpendapat bahwa pengetahuan bukan-lah representasi realitas. Dalam gagasan beliau yang "antirepresentasionalime" , tidak lagi diperlukan pemisahan tegas (mediasi) antara pemikiran dan dunia.

Dalam hal (konsep-nya)  ini, terkandung pengandaian bahwa pemikiran sudah selalu berinteraksi secara kontinyu dengan dunia. Artinya, Rorty sedang mengontologikan ketidakterpisahan antara skema dan konten pengetahuan di dalam arus kontinuitas interaksi tersebut. 

Bentuk radikalisasi ketidakmungkinan pemisahan skema dan konten pengetahuan adalah dengan menyatakan tidak masuk akal untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait kebenaran pengetahuan atau struktur kognitif kita. 

Lebih jauh, tidak ada yang dianggap sebagai  justifikasi dalam antirepresentasinalisme tanpa mengacu pada konteks di mana subyek tersebut hidup, sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan mana yang lebih benar bukan merupakan persoalan yang urgen.

Dalam situasi sosial,  apa yang lebih penting adalah mana yang lebih "mengembangkan"  kita -- istilah mengembangkan ini mengacu pada bentuk kemajuan kehidupan bersama. 

Masih menurut beliau, justifikasi tidak berkaitan dengan konteks universal, melainkan hanya merupakan soal konsensus dan efektivitas sebagai praktik sosial yang kontekstual. Jadi, dalam era kekinian, menurut  penulis, kita sebaiknya menghindarti jebakan-jebakan konsep universal yang mengabaikan konteks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun