Angin,Â
bagi bara dan asap adalah air bagi ikan.
Asap, harus sabar dan lapang-dada
'tuk dapat menunggu redanya angin, dan
barulah ia dapat menjelajah setiap pori dalam sebaran ranah.
Dalam kelumpuhan asap yang menanti redanya angin,
bara sebagai sumber asap justru kian benderang seturut kuat lemahnya angin.
Bara yang berkobar menyala, Â tanda asap yang lumpuh!
'Tuk dapat mengungkap dan menilai segala sesuatu terkait hal yang berkelindan,
belajarlah dari bara, asap dan angin!
Membaca Rumah Kaca:
Si terjajah telah menjelma jadi penjajah,
ada yang resah dan gerah tak dapat jatah, lalu berkobar jadi amarah.
Kelas terdidik kolonial yang terparah,
dan ikut memerah ranahkan segenap tanah,
memutih silihkan segenap jerih,
meremah-remahkan kiprah si penjarah dari entah berantah.
Sekali lagi kuulangi,
Si terjajah kini menjajah diri dan bangsa sendiri karena serakah,
ubah gerah jadi marahnya merah,
ubah perih jadi rintihnya putih.
Kuulangi sekali lagi,
Serakah anugerah wajah dari penjajah belum lagi terdedah,
kalah langsung patah! (interlude: nada kidung persembahan...)
menang jadi picu garang yang senantiasa meradang.
Bangsa ini masih terpaku 'tuk  jadi bara yang senantiasa menuruti arah dan desah angin!
Sekali lagi kuulangi,
Kutipan isi dalam buku Rumah Kaca:
( Hanya organisasi-organisasi kebangsaan di bujur "Semarang - Yogya" Â (S-Y) Â yang terus dan tetap berjuang tuk melawan Gubernemen,
sedangkan lainnya sudah termakan umpan politik kolonial 'tuk saling berebut kursi  kekuasaan di Volsraad dan segera bertiwikrama
jadi organisasi politik secara instan)
bak bara, alih-alih asap, yang tergiring dan terkobar oleh angin...
Pertanyaannya,
mungkinkah mereka yang masih mabuk 'tuk jadi bara, merumah-kacakan dirinya sendiri?
(interlude: nada instrumennya lagu "The Great Pretender" oleh The Platters)
Tersadur dari buku "Rumah Kaca"-nya Pramudya, dan "Mencintai Kamar Mandi" -ny Rabu Pagisyahbana)
Bekasi, 23 Sept 2019