Langkah gontai, Â asa terbantai
Usia kian tersia, gamang meradang layang
Hidup tinggal sepuntung, masih juga terkatung-katung
Terhenyak oleh mimpi, yang tak juga berisi
Kumuak pada realita berpawang lentera
si penyapa senja saat siang masih mengiang
Kumuak pada realita bergincu gamis
si penghitung tasbih nan sahih, tapi hanya  dengan  mencabik kasih
Kumuak pada realita berjubah kerja
si pengecoh hidup saat bara belum lagi redup
Kumuak pada realita berjirah penyelamat
si pesihir kepentingan diri menjadi kehausan liyan yang tak terperi
Mungkin takdirku menjadi setan setengah manusiaÂ
(atau manusia setengah setan?)
Yang melayang di antara hasrat dan mimpi,
yang sekarat saat harus mengamini hidup sebagai berkah...
(puisi dalam perjalanan tanpa akhir; atau dalam akhir perjalanan?)
Buat Amera (baca: Arema)
Arek-arek,
malang-melintang,
membalik kata dan dunia,
karena realita tlah kian genit,
jadi sekumpulan hati hampa kurang magnit.
Meski akronim-mu singkat sekati,
seketat tekad, sesahaja hati
kiprahmu sungguh sejati
Arek-arek,
malang-melintang,
bagi amera, peduli harga mati
tuk iman yang bernyali.
Amera kumpul padu,
celoteh tak berjarak,Â
ketatkan relasi, tebarkan api di hati
tuk aksi yang paling berarti
Bila kami (Amera) Â beramal,
itu bukan buah dari pintalan rapal yang terjejal
melainkan tuntasan purna hasrat semesta yang kekal
(Puisi untuk rekan Amera penolongku saat di bumi Arema)