Mohon tunggu...
Hilariani Sare
Hilariani Sare Mohon Tunggu... Perawat

Dari pena ke dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita kemarin : nakes perbatasan diantara muntahan lewotobi

15 Oktober 2025   23:37 Diperbarui: 15 Oktober 2025   23:49 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Letusan lewotobi laki-laki, Rabu 15 Oktober 2025 (sumber: Dokumen Pribadi) 

Lagi, hari ini Lewotobi meraung.

Berkali-kali ia meletus,

menghamburkan pasir dan kerikil

ke atap Puskesmas tempat kami bertugas.

Lari...?

Tidak.

Bukan karena pasrah,

tapi karena kami tahu ---

siapa yang akan mengobati mereka

yang kulitnya melepuh tersentuh bara?

Siapa yang akan menolong

mereka yang sesak napas

karena abu menutup alveoli di paru-paru?

Itu kami --- para tenaga kesehatan di perbatasan,

berjuang dengan segala keterbatasan

di rumah penuh luka:

luka di atap, luka di dinding,

dan luka yang paling dalam ---

di hati kami sendiri.

---

Kejadian malam ini bermula lewat pukul sebelas.

Ada dobrakan di pintu,

kami kira pasien gawat datang mencari pertolongan.

Kami terbangun, terkejut,

namun sunyi.

Tak ada suara, hanya dentuman jauh di perut bumi.

Saling menatap, kami tahu tanpa perlu bicara:

"Dia meletus lagi."

Tanpa banyak kata, kami kembali berbaring.

Sunyi menemani,

hanya jangkrik di belakang ruang Tata Usaha

tempat kami biasa merebahkan letih.

Di sana kami tertawa pada dengkuran,

menertawakan kentut dan kisah seram,

sekadar menghibur hati yang pilu.

Tidur kembali setelah bumi bergetar?

Iya.

Kami harus mengumpulkan kewarasan,

menyusun kembali mental yang utuh,

agar besok ---

kami masih sanggup mendengarkan keluh kesah

dan tangis para korban letusan.

---

Lewotobi belum diam,

bahkan hingga sore hari

ia masih menurunkan isinya.

Yang jatuh bukanlah harapan,

melainkan pasir dan kerikil.

Karena harapan itu

sudah ada di genggaman kami ---

di pikiran yang tak menyerah,

di hati yang memilih bertahan.

Kami tidak lari.

Kami berdiri menatap langit yang berubah warna ---

kuning keemasan perlahan menjadi hitam,

sementara kami,

masih saling bercanda,

menemukan kekuatan di antara abu yang berjatuhan.

Catatan kecil: 

Tulisan ini diangkat dari kisah nyata tenaga kesehatan di wilayah perbatasan saat Gunung Lewotobi meletus.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun