Mohon tunggu...
Anthony Tjio
Anthony Tjio Mohon Tunggu... Administrasi - Retired physician

Penggemar dan penegak ketepatan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arti Kata "Sam Poo Kong"

11 Desember 2016   09:22 Diperbarui: 11 Desember 2016   09:28 1653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Dampo Awang Ong Keng Hong di Sam Poo Kong Simongan. (foto AH Tjio)

Sampo (sam poo) itu artinya “Bapak” dikalangan Tionghoa peranakan Persia, mereka termasuk Cheng Ho, yang eyang mereka pergi ke Tiongkok untuk berniaga disepanjang “Jalur Sutra”.

Semula, orang dari Persia memperkenalkan tenunan bahan kapas ke Tiongkok dan disana menemukan pintalan sutra yang mereka sebut Cina-patta dan diperdagangkan kembali, dengan demikian terbukalah “Jalur Sutra”. Dari cina-patta itulah asalnya istilah Cina sejak 2500 tahun lalu.

Menurut penelitian, pelopor semula yang membuka jalan bagi bangsa-bangsa Sogdian Persia dijalur perniagaan tersebut tidak lain adalah diaspora Israeli dari sekitar Iran. Di sepanjang jalur sutra itu mereka hilir mudik membawa beban berat melintasi perjalanan jauh digurun pasir dengan kafilah unta, rombongan itu dimandori oleh juru mudi seorang “Sarbon” (sarbon dalam Sogdiani, sarban dalam Urdu, saabra dalam Arabia), dari situlah kapten pengendara unta menjadi yang dihormati dalam lingkungan Persia Tionghoa, maka menjadikan kata Sarbon layak bapak, boss, atau Pak dalam sebutan kita sehari-hari. Akibatnya secara merata di Tiongkok sejak zaman kemakmuran Jalur Sutra itu para Persia disebut Sarbon.

Pujangga Luo Mao-deng / 罗懋登/  Lo Mo-teng adalah orang pertama yang menulis buku cerita romantis Cheng Ho ditahun 1598, buku itu diberi judul “San-bao Tai-jian Xia Xie-yang Ji / 三宝太监下西洋纪 / Hikayat Kasim Sampo Menuju ke Samudra Barat”. Disinilah istilah “sar-bon” di-mandarin-kan menjadi “San-bao” dan dari “san-bao” inilah yang dijadikan “Sam Poo” (三保)  oleh peranakan di Semarang.

Disini sarbon dibaca san-bao dalam lafal Mandarin, dan penyebutan San-bao dalam pelayaran Armada Ming itu sekedar maksudnya Bapak Kasim. Tetapi Tionghoa dikemudian hari menterjemahkan “san-bao” secara harfia yang menyimpang dari maksud semula penulis itu, sekarang San-bao disalah mengertikan sebagai “Tiga Pusaka” dalam kepercayaan Budhis.

Sedikitnya ada 6 sarbon, kasim Muslim yang ada didalam catatan pelayaran raksasa zaman Ming diabad 15 tersebut, yaitu:

  • Duta Besar Sarbon Mahmud Shamsudin Cheng Ho.
  • Nahkoda Jurumudi Duta Besar Sarbon Ong Keng Hong yang makamnya di Simongan.
  • Laksamana Duta Besar Sarbon Ho Sian yang diutus ke Siam (Thailand).
  • Laksamana Wakil Duta Besar Sarbon Nyoo Kheng (Yang Qing) yang diutus untuk mengawal Raja Parameswara asal Palembang yang baru mendirikan Kerajaan Perak untuk menghadap Kaisar Ming Yung-le, supaya kedaulatannya di Malaka diakui pada tahun 1403.
  • Laksamana Wakil Duta Besar Sarbon Ang Po (Hong Bao) yang mendampingi Cheng Ho dalam seluruh pelayarannya.
  • Sarbon Swie Soe, juru masak Cheng Ho yang dikubur di Ancol, DKI dengan istrinya Ronggeng Sitiwati.

Dengan banyaknya laksamana yang memimpin armada keberbagai jurusan tugas pelayaran tersebut, sekarang disangsikan kalau memang hanya ada satu Armada Ming yang menokohkan Cheng Ho itu saja, ataukah Cheng Ho memang selalu berada dalam semua 7 pelayaran seperti yang dikisahkan dalam buku Lo Mo-teng ditahun 1589. Sehingga ada juga cerita yang dimana Armada Ming pernah mencapai Afrika Timur, maupun terus melintasi Lautan Atlantik mencapai Benua Amerika dibuku Gavin Menzies: “1421”.

Dari kosa kata Sarbon menjadi Sampo. Maka yang disebut Sam Poo Tay Djien (Yang Mulia Sampo) di Simongan itu bukan harus Cheng Ho, ternyata dia adalah “Sampo A-Wang” (Wang Jing-hong) Ong Keng Hong, yang pada umumnya dikalangan setempat juga dikenal sebagai Juru Mudi Dampo Awang. Bukan Cheng Ho.

Ini ada buktinya. Ada penuturan sejarah Gua Sampo diatas sebuah batu prasasti “Gedung Batu Sampo Tong”, guna memperingati Sampo Ong Keng Hong yang didewakan disana. Batu tersebut yang ditegakkan oleh pemilik wilayah tersebut, Oei Tjie Sien (ayahnya Oei Tiong Ham) pada tahun 1879 masih ada disana.

(foto AH Tjio)

Batu Prasasti Gedung Batu di Simongan: (Diterjemahkan oleh Anthony Hocktong Tjio)

“Di Simongan sini, tersemayam Yang Mulia Sampo Ong (Keng Hong) yang telah berpulang ke rahmatullah diantara keindahan alam.

Ada satu gerbang alamiah yang berupa gua dikaki bukit yang subur pertumbuhan, disanalah Dewa Sampo pernah menampakkan roh sucinya, maka dikeramatkan dengan nama Gua Sampo (Sam Po Tong).

Kita Tanglang (Tionghoa asal dari Hokkian) yang berhijrah dibumi terpencil ini pada berdoa di Gua tersebut untuk memohon keselamatan dan perlindungan, namun telah merupakan pengertian umum kalau berdagang diseberang lautan sini, semua orang harus berdaya upaya sendiri-sendiri untuk kecukupan rejeki dan menjaga keamanan masing-masing.

Para umat lelaki maupun wanita dengan menggelarkan pengabdian yang tulus mereka berziarah ke Gua pada setiap fase bulan baru dan purnama. Desakan bahu membahu dan riuh bising manusia, dengan hiruk pikuk lalu lintas kereta dan jeritan kuda disana, menjadikan tempat ini keramat.

Semulanya wilayah ini adalah tanah warisan milik keturunan marga Song (Zon) yang memungut uang masuk 500 gulden setiap tahunnya. Biaya yang selalu disediakan oleh (Perhimpunan Tionghoa) Kong Goan dari sumbangan para pengusaha setempat. Meskipun itu bukan jumlah yang besar, tetapi kurang hormat terhadap Sang Dewa (Ong Keng Hong). Perbuatan tidak bijaksana yang telah dilaksanakan turun temurun oleh keluarga yang berkepercayaan Kristen (Yahudi) tersebut.

Mempertimbangan semua hal yang sangat mengkhawatirkan masa depannya, maka pada kesempatan perlelangan, Alhamdulillah, terkabul tujuan kita untuk memperolehnya dipertengahan Tahun Kelinci (1879).

Segera membebaskan segala pungutan uang masuk, membongkar jembatan, memugar pendapa Gua, membersihkan selokan dan saluran irigasi. Sehingga diketeduhan langit-langit pendapa, kaum umat bisa bersembahyang seikhlasnya. Berserilah suasana damai dan tenteram yang tiada taranya dengan semerbak harum dupa yang tidak mereda disana.

Menghindari ketidak-sadaran orang dikemudian hari, maka harus dituturkan sebab musabab memperoleh wilayah ini dan pelestariannya diatas batu prasasti ini. Dengan sukur mendapatkan dukungan dari para sejawat yang mengerti maksud saya, dan atas berkah Allah subhanahu wa ta’ala.

Tahun Kelinci, tahun ke-lima era Qing Guangxu.

Tahun seribu delapan ratus tujuh puluh sembilan era Belanda.

Ditegakkan dengan hormat oleh Pemilik Simongan, Qei Tjie Sien.”

Kong (公) itu adalah panggilan hormat yang artinya “Yang Mulia”, maka “Sam Poo Kong” berarti “Bapak yang Mulia”, siapa? Ternyata yang di Simongan itu adalah Dampo Awang Ong Keng Hong. Dengan demikian mengambil nama Klenteng “Sam Poo Kong” untuk Cheng Ho adalah suatu pengubahan peninggalan sejarah yang tidak bijaksana.

Tulisan dan foto oleh: Anthony Hocktong Tjio.

Monterey Park, CA. 10 Desember 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun