Sejarah akan mencatat banyak pemimpin. Tapi hanya sedikit yang benar-benar menetap di hati umat manusia. Paus Fransiskus adalah salah satunya. Ia tidak memimpin dengan retorika yang menggelegar atau tangan yang mengepal, tapi dengan hati yang terbuka dan sikap yang penuh kasih. Ia bukan sekadar tokoh agama, bukan pula hanya kepala negara Vatikan. Ia adalah suara nurani dunia.
Kepergiannya sehari setelah Paskah seolah memiliki pesan ilahi yang tersembunyi. Paskah, hari kemenangan atas kematian, justru menjadi momen perpisahan sosok yang selama hidupnya berjuang membawa hidup bagi banyak orang. Dan dunia pun berduka, tidak dengan teriakan, tetapi dengan hening yang dalam.
Ingat saat berkunjung ke berbagai negara, termasuk Indonesia, Paus Fransiskus tidak hadir sebagai raja dunia yang harus disambut megah. Ia datang sebagai sahabat umat manusia. Ia menolak mobil mewah, memilih kendaraan sederhana. Ia menolak tinggal di istana Vatikan yang luas, dan lebih memilih kamar kecil yang sederhana. Ia tidak memerintahkan agar dunia menunduk padanya, tapi ia sendiri yang menunduk kepada dunia, menyapa orang-orang yang paling dilupakan: para tahanan, orang miskin, anak-anak korban perang, dan para pengungsi.
Di tengah dunia yang semakin terpecah oleh perbedaan keyakinan, kebangsaan, dan pandangan politik, Paus Fransiskus berdiri sebagai jembatan. Ia tidak membentengi dirinya dengan dogma, tapi justru membuka tangan seluas mungkin untuk berdialog. Dalam banyak kesempatan, ia menunjukkan toleransi yang hidup, bukan hanya dalam kata-kata, tapi juga dalam langkah-langkah nyata. Ia merangkul pemimpin Islam, berdialog dengan pemuka Buddha dan Hindu, bahkan menyampaikan pesan kasih bagi mereka yang tidak beragama. Dunia melihat bahwa ia tidak sedang mencoba menaklukkan, tetapi menyatukan.
Yang menggetarkan adalah caranya menjalankan kepemimpinan. Ia tidak pernah berkata "ikuti aku," tetapi hidupnya sendiri menjadi jalan untuk diikuti. Ketika dunia menyaksikan ia membasuh kaki para imigran, dunia belajar bahwa kekuasaan sejati adalah ketika engkau bisa melayani tanpa merasa lebih tinggi. Ketika ia memeluk seorang anak cacat dengan penuh kasih, dunia menyadari bahwa kelembutan adalah kekuatan baru yang terlalu lama diabaikan.
Paus Fransiskus juga tidak takut berbicara tentang ketidakadilan sistemik. Ia bersuara lantang tentang kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi, dan penderitaan rakyat kecil. Ia mengkritik sistem global yang menomorsatukan keuntungan dan melupakan martabat manusia. Tapi ia tidak melawan dengan amarah. Ia melawan dengan cinta. Ia tidak membalas kekerasan dengan kebencian, melainkan dengan welas asih yang membebaskan.
Satu hal yang membedakan Paus Fransiskus dari banyak pemimpin adalah keengganannya untuk mencari popularitas. Ketika dunia berlomba jadi viral, ia tetap tenang di tempatnya. Ia tidak mengejar citra, tetapi merawat integritas. Ia tidak membentuk pasukan pengikut fanatik, tetapi menginspirasi umat untuk berpikir lebih dalam, mencintai lebih luas, dan hidup lebih sederhana.
Dan pada akhirnya, ketika tubuhnya yang renta telah menyatu dengan tanah, justru namanya tumbuh semakin tinggi di langit sejarah. Dunia menangis, bukan karena kehilangan sosok yang memegang kekuasaan, tetapi karena kehilangan teladan yang begitu langka. Sebab pemimpin sejati tidak dikenang karena jabatannya, melainkan karena jejak kebaikan yang ia tinggalkan.
Kita hidup di jaman di mana kata "pemimpin" terlalu banyak diobral. Tapi dari Paus Fransiskus, kita diingatkan kembali apa makna sejati dari memimpin. Bukanlah ia berada di atas, tapi berada di tengah. Bukanlah ia merasa hebat, tapi hadir untuk membantu. Bukanlah ia memerintah dengan keras, tapi mengarahkan dengan kelembutan. Dunia ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang bijak. Tidak kekurangan pemegang kekuasaan, tapi kekurangan penyebar kasih.
Kepemimpinan seperti inilah yang seharusnya menjadi aspirasi bagi siapa pun yang memegang jabatan, entah di pemerintahan, organisasi, lembaga keagamaan, maupun dunia usaha. Sebab kepemimpinan bukan tentang seberapa keras suara kita menggema, tapi seberapa dalam hati kita mendengar. Bukan tentang seberapa banyak perintah yang kita keluarkan, tapi seberapa banyak keteladanan yang kita tunjukkan.