Lhokseumawe, 3 Mei 2025 — Hari ini, tepat 25 tahun berlalu sejak peristiwa kelam di Simpang KKA, Lhokseumawe, Aceh Utara. Pada pagi 3 Mei 1999, aparat keamanan melepaskan tembakan ke arah ribuan warga sipil yang sedang melakukan aksi damai menuntut pertanggungjawaban atas kekerasan sebelumnya di Cot Murong. Sedikitnya 21 orang tewas, ratusan lainnya luka-luka, dan hingga kini, tak satu pun pelaku dibawa ke pengadilan.
Peringatan tahun ini dihadiri oleh keluarga korban, aktivis HAM, tokoh masyarakat, pelajar, serta perwakilan dari Komnas HAM. Kegiatan diisi dengan doa bersama, pembacaan puisi, penampilan kesenian Aceh, serta refleksi publik bertajuk “Ingatan adalah Perlawanan.”
Fatimah, ibu dari salah satu korban yang masih aktif memperjuangkan pengakuan negara, mengatakan,
“Setiap tahun kami datang bukan untuk mengobarkan dendam, tapi untuk mengingatkan bahwa luka ini nyata. Jangan tutup lembaran sejarah kami hanya karena negara ingin terlihat damai!.”
Komnas HAM dalam pernyataan resminya kembali menegaskan bahwa Tragedi Simpang KKA termasuk kategori pelanggaran HAM berat. Namun hingga saat ini, proses hukum di tingkat nasional masih jalan di tempat, dan upaya pengadilan HAM ad hoc belum menunjukkan hasil.
Para aktivis dan akademisi menekankan pentingnya menjadikan tragedi ini sebagai pelajaran kolektif. “Rekonsiliasi tidak bisa berjalan tanpa keadilan. Perdamaian sejati tidak lahir dari lupa, tapi dari keberanian mengakui dan bertanggung jawab,” ujar seorang peneliti dari Universitas Malikussaleh.
Di tengah gencarnya pembangunan pascakonflik dan derasnya investasi masuk ke Aceh, luka-luka masa lalu itu seperti sengaja disembunyikan di bawah fondasi jalan tol, pabrik, dan proyek-proyek tambang. Pertanyaan pun muncul: Apakah perdamaian tanpa keadilan sungguh perdamaian?
Di desa-desa sekitar Lhokseumawe, para ibu masih menyimpan foto anak-anak mereka yang gugur. Beberapa belum ditemukan, beberapa tak dikenali jasadnya. Pemerintah berbicara tentang masa depan, tapi banyak warga Aceh masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang belum dituntaskan.
Dalam setiap pembangunan, negara selalu menuntut rakyat untuk melupakan demi "kemajuan". Tapi bagaimana bisa melupakan jika pelaku masih bebas, jika negara belum mengakui secara resmi, jika keadilan hanya jadi wacana politik lima tahunan?
Tragedi Simpang KKA bukan hanya cerita dari masa lalu. Ia adalah ujian integritas bangsa ini terhadap sejarahnya sendiri. Jika kita ingin membangun Indonesia yang benar-benar adil dan damai, maka luka-luka seperti ini tidak boleh didiamkan.