Tapi begitulah contoh nyata diskriminasi yang masih mendarah daging di negara kita ini, dimana seolah menyia-nyiakan usaha Kartini yang sempat berjuang untuk menyetarakan gender, ketika kini kaum 'lelah hayati' malah mengotak-ngotakkannya berdasarkan diameter lubang yang dimiliki oleh kaumnya sendiri.
Sedangkan bagi para pria, ketika memutuskan untuk menikahi seseorang dengan status gadis, bukankah mereka pun tak dapat mengetahui dengan pasti diameter lubang hanya melalui profil yang tercatat pada catatan sipil?
Lalu mengapa janda dianggap sebagai 'psikopat' yang dapat bermain cinta tanpa perasaan?
Janda bukanlah status yang remeh, melainkan salah satu contoh sosok pejuang ulung yang sempat menjalankan prahara dalam rumah tangga, sebelum pada akhirnya mendapatkan kemerdekaannya kembali karena berbagai alasan yang tak disengaja.
Baik janda mati maupun cerai, siapa sih yang bisa mengelak takdir?Â
Maka, jika para gadis dapat memilih pria yang dia cintai, begitu jugalah dengan janda, dimana setiap lelaki tak dapat dengan sesuka hati mengambil raganya, karena jiwanya pun memilih kepada siapa hatinya dapat berlabuh.
Lalu sebagian wanita yang senantiasa ikut bergunjing tentang janda, apa yakin di masa yang akan datang tidak akan menyandang status itu juga?