Begitupun dengan Indonesia, masih sangat jelas diskriminasi kepada wanita diperlihatkan, khususnya melalui 'cuitan' sebagian besar warganet di sosial media.
Diskriminasi yang paling nyata sering terjadi pada wanita di masa kini yaitu membedakan mereka berdasarkan diameter 'lubang kenikmatan'.
Seorang wanita berstatus gadis dianggap lebih mahal, daripada seorang wanita yang telah diperawani. Bahkan beberapa instansi pemerintahan sempat mempersyaratkan perawan kepada calon-calon taruninya.
Pada beberapa kasus, seorang lelaki dapat dengan sesuka hati memperlakukan istri yang baru ia nikahi hanya karena mencurigai istrinya sudah tidak perawan lagi. Dan mirisnya, kesimpulan itu diambil hanya berdasarkan tiadanya darah di malam pertama.
Padahal selaput dara yang elastis tak selalu robek dan mengeluarkan darah jika hubungan badan dilakukan secara lembut. Kalaupun saat itu menghasilkan darah, kadang tidak sampai menyisakan bercak pada sprei tempat tidur.
Diskriminasi tersebut juga bukan hanya terjadi pada 'gadis rasa janda' (julukan ini kerap diberikan oleh warganet terhadap wanita yang sudah tak perawan), melainkan terhadap the real janda sekalipun.
Status kebesaran nan berat itu dijadikan bahan gunjingan dan lelucon yang tak lucu bagi sebagian orang yang bukan hanya berstatus lelaki, melainkan juga sesama wanita.
"Awas tergoda janda!"
"Tak ada gadis, janda pun jadi."
"Mau bobo dulu sama janda."
Beberapa selentingan bodoh itu diucapkan oleh orang-orang dengan berbagai tingkat pendidikan dan tingkat usia. Ya, kebodohan memang tak dapat memilih untuk mampir pada siapa saja, dan pemiliknya pun bisa sadar atau tidak akan itu.