Era digital telah mengubah cara orang berkomunikasi dan hidup secara besar-besaran. Generasi Z, yang tumbuh dalam dunia digital yang cepat, terhubung, dan selalu berubah, menjadi salah satu kelompok yang paling mudah terpengaruh. Bagi mereka, media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter) bukan hanya untuk hiburan, tapi juga tempat penting untuk membangun identitas, mengekspresikan perasaan, dan berinteraksi dengan orang lain. Meski terasa mudah dan terhubung, hal ini juga membawa risiko serius bagi kesehatan mental remaja karena, etika harapan sosial ini tidak tercapai yang menimbulkan perasaan rendah diri, kecemasan, hingga depresi.
     Penelitian oleh Kominfo 2023 menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 60% pengguna media sosial pada remaja di Indonesia mengalami tekanan emosional karena membandingkan dirinya dengan orang lain di media sosial. Selain itu, algoritma yang mendorong pengguna untuk terus aktif dan mengonsumsi konten yang sama secara terus menerus membuat kita merasa lebih terhubung dan cara ini dapat mengganggu kesehatan mental generasi muda.
     Fenomena ini menunjukkan bahwa dunia maya tidak hanya mencerminkan kehidupan sosial nyata, tetapi juga membentuknya. Melalui cara kerja algoritma dan cara berinteraksi di media sosial, para pengguna Gen Z secara tidak sadar terjebak dalam lingkaran perbandingan, pencarian persetujuan, serta tekanan untuk selalu terlihat sempurna. Dampak pada pikiran mereka, seperti stres, perasaan tidak cukup, hingga merasa kehilangan makna diri, menjadi masalah yang harus diperhatikan yang tidak pernah cukup. Oleh karena itu, peran pengelolaan media sosial dan kerja sama layanan publik sangat penting untuk menciptakan dunia maya yang sehat dan nyaman.
     Generasi Z yang berada di Tengah perubahan era digital yang penuh informasi, koneksi instan, tekanan sosial yang sangat besar. Mereka dikenal sebagai "Digital Native" dimana orang -- orang yang lahir dan tumbuh bersama dengan teknologi. Berbeda dengan generasi -- generasi sebelumnya, Gen Z lebih banyak menggunakan media sosial sebagai tempat untuk berinteraksi, berbagi keluh kesah, belajar, dan bahkan membangun karier. Namun, rasa ketergantungan terhadap dunia maya dapat membuat Gen Z berada di ambang -- ambang kebingungan akan jati diri yang sebenarnya, karena selalu melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna.
     Kesehatan mental dalam dunia digital kini menjadi isu sosial yang perlu diperhatikan secara serius. Karena banyak remaja yang terlihat baik -- baik saja di sosial media, tetapi pada kenyataannya mereka mengalami kecemasan, perasaan tidak cukup penting, atau tekanan sosial yang susah untuk diungkapkan. Masalah ini tidak dapat diatasi hanya dengan cara pribadi, karena akar masalah dan dampaknya muncul dari berbagai lapisan masyarakat. Seperti sistem pendidikan, tempat kerja, hingga cara media membentuk gambaran kehidupan yang ideal. Oleh karena itu, penanganannya harus bersifat sistematis dan saling terhubung, di mana setiap pihak memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda tetapi saling mendukung.
     Ketika membahas peran berbagai pihak, terlihat bahwa masalah kesehatan mental di kalangan Generasi Z tidak bisa ditangani oleh satu instansi atau profesi sendirian. Masalah ini muncul dari berbagai faktor sosial, teknologi, dan budaya yang saling terkait, sehingga penyelesaiannya membutuhkan kerja sama yang saling terhubung. Dalam konteks ini, menunjukkan bahwa bentuk kolaborasi yang cocok untuk digunakan disebut sebagai jejaring lintas sektor publik. Di mana hubungan yang menggabungkan pemerintah, lembaga pendidikan, tenaga profesional, media, komunitas, dan sektor swasta dalam satu kerja yang fleksibel dan mencapai tujuan bersama.
     Jejaring seperti ini tidak memiliki struktur hierarkis seperti sistem birokrasi yang biasa. Ia berjalan dengan cara komunikasi dua arah, kerja sama terbuka, dan saling percaya antaraktor. Pemerintah jadi pemandu dan penjaga arah kebijakan, lembaga pendidikan menyediakan riset serta edukasi tentang kesehatan mental, tenaga profesional kesehatan mental menjalankan pelayanan langsung, sedangkan media dan komunitas digital (Instagram) berfungsi sebagai penghantar pesan dan penunjang sosial. Sementara itu, sektor swasta dan perusahaan teknologi bisa memberikan inovasi digital guna memudahkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mental. Ketika semua pihak ini bekerja secara sinkron, maka akan terbentuk suatu sistem yang kuat dan berkelanjutan.
     Keuntungan dari sistem ini terlihat dari tiga hal utama. Pertama sistem ini dapat mempercepat pertukaran informasi antara pihak -- pihak terkait dan masyarakat, sehingga kebijakan bisa dibuat berdasarkan kebutuhan sebenarnya. Kedua, sistem ini meningkatkan penggunaan sumber daya secara efesien karena masing -- masing aktor dapat berkontribusi sesuai dengan bidang kerjanya. Ketiga, sistem ini menciptakan kebijakan dan program yang lebih relevan dengan kondisi nyata, tidak hanya memberikan bantuan langsung tetapi juga membantu masyarakat meningkatkan kemampuan dalam menjaga kesehatannya sendiri. Dengan demikian, sistem ini bukan hanya cara kerjanya saja, tetapi juga dasar baru dalam mengelola pelayanan publik di era digital.
     Pokok utama dari sistem ini ialah konsep tata kelola yang baik. Dengan tata kelola yang baik bukan hanya tentang aturan dan prosedur, tetapi juga bagaimana setiap pihak bisa terlihat secara aktif, jujur, dan bertanggungjawab. Dalam tata kelola yang baik, pemerintah bukan hanya membuat keputusan, tetapi juga membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartipasi secara aktif. Di dalam konteks pelayanan kesehatan mental digital, tata kelola yang baik berarti memberikan akses iinformasi yang benar, menciptakan ruang aman di dunia maya, serta memastikan bahwa setiap kebijakan terarah untuk kesejahteraan masyarakat.
     Dari konsep yang digunakan, muncul beberapa prinsip yang dapat memperkuat hubungan antar sistem dengan tata kelola. Prinsip transparansi mengharuskan pemerintah dan lembaga publik bersikap jujur dalam setiap proses pengambilan kebijakan agar kepercayaan masyarakat meningkat. Prinsip akuntabilitas bahwa setiap aktor yang terlibat memiliki tanggung jawab moral atas kebijakan dan anggaran dari hasil kinerjanya. Prinsip responsibilitas dengan kesadaran untuk bertindak sesuai dengan kewenangan dan norma yang berlaku. Prinsip independensi di mana menjaga agar jejaring tetap bebas dari intervensi kepentingan sempit. Sementara itu, Prinsip kesetaraan menegaskan bahwa semua pihak dalam jejaring memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berkontribusi. Prinsip -- prinsip ini membuat tata Kelola menjadi lebih manusiawi dan sesuai dengan kebutuhan zaman.
     Dalam konteks administrasi publik, jejaring ini juga menjadi strategi kolaborasi yang tepat untuk dijalankan pemerintah. Alih-alih bekerja sendirian, pemerintah bisa menggunakan pendekatan lintas sektor dengan memanfaatkan kekuatan komunitas digital. Misalnya, dinas sosial bisa bekerja sama dengan universitas dan influencer muda untuk membuat kampanye kesadaran kesehatan mental di media sosial. Dinas pendidikan bisa menyediakan program literasi digital di sekolah, sementara lembaga kesehatan mengembangkan layanan konseling daring yang terintegrasi dengan sistem pemerintah daerah. Semua bentuk kerja sama ini menjadi langkah nyata dalam membangun kesejahteraan mental yang berkelanjutan bagi Generasi Z.