Mohon tunggu...
Annisa Nur Fahira
Annisa Nur Fahira Mohon Tunggu... Mahasiswa

Annisa Nur Fahira adalah seorang Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Cenderawasih. Saat ini hobinya adalah menulis dan bermain musik. Walaupun tidak banyak pengalaman menulis yang dimilikinya, tetapi ia ingin sekali tulisannya lebih dikenal oleh banyak masyarakat Indonesia dan berharap bisa mempengaruhi dan menghibur para pembacanya.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mengawal Penerimaan Negara di Tengah Revolusi Digital

31 Agustus 2025   09:31 Diperbarui: 31 Agustus 2025   09:31 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Penerimaan negara ibarat darah yang menghidupi pembangunan. Penerimaan negara yang sumber terbesarnya berasal dari pajak diperuntukkan dalam membiayai berbagai program penting, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, hingga jaminan sosial bagi masyarakat. Era digital yang tengah terjadi membawa perubahan pada aktivitas ekonomi global dan domestik. Industri berbasis platform, layanan transportasi daring, dan industri konten digital adalah bukti nyata pergeseran ekonomi ke arah digital. Perkembangan digital tidak hanya memberikan potensi penerimaan baru, tetapi juga menimbulkan persoalan yang harus diantisipasi dalam pengelolaan fiskal Indonesia.

Masa depan penerimaan negara Indonesia bergantung pada kemampuan masyarakat beradaptasi dengan transformasi digital. Perdagangan lintas batas yang kian praktis berpotensi memicu meningkatnya praktik pengelakan pajak serta pergeseran laba ke negara-negara dengan pajak lebih rendah. Pemanfaatan teknologi digital turut meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. Salah satu peluang terbesar yang bisa dimanfaatkan pemerintah adalah optimalisasi pajak digital. Kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas layanan digital asing seperti Netflix dan Spotify merupakan langkah awal yang patut diapresiasi. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) klaster pajak penghasilan (PPh) dan peraturan turunan lainnya merupakan penegasan bahwa penghasilan yang diperoleh melalui platform digital seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, dan lainnya merupakan penghasilan dikenai pajak. Selain itu, usaha perdagangan secara online seharusnya turut melaporkan dan membayar pajak.

Untuk mendukung agenda digitalisasi perpajakan, pemerintah juga telah meluncurkan sistem inti administrasi perpajakan atau core tax administration system (Coretax). Penerapan Coretax diharapkan dapat mempermudah wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, mulai dari pendaftaran, pelaporan, hingga pembayaran pajak yang terintegrasi dalam satu sistem. Kehadiran layanan ini membuka jalan menuju pelayanan pajak yang lebih cepat, transparan, dan efisien. Meski begitu, tantangan tak sedikit muncul di tahap awal implementasi, seperti bug, error, atau akses yang lambat yang dapat mengganggu kenyamanan pengguna. Oleh karena itu, optimalisasi sistem secara berkelanjutan menjadi hal krusial agar tujuan Coretax benar-benar tercapai, yakni meminimalkan biaya kepatuhan, meningkatkan akurasi data, serta memperkuat basis penerimaan negara.

Selain optimalisasi pajak digital, pemanfaatan teknologi canggih juga menjadi faktor penentu keberhasilan penerimaan negara di masa depan. Kehadiran big data dan artificial intelligence (AI) memungkinkan pemerintah bisa memetakan potensi wajib pajak, menemukan celah kepatuhan, dan memperkirakan penerimaan negara dengan lebih akurat. Selain itu, teknologi blockchain berpotensi digunakan untuk meningkatkan keamanan dan transparansi transaksi. Misalnya, pembayaran pajak yang dilakukan wajib pajak langsung tercatat di sistem, sehingga meminimalisasi praktik manipulasi laporan atau penggelapan. Dengan dukungan teknologi modern, sistem perpajakan Indonesia tidak hanya menjadi lebih efektif, tetapi juga lebih kredibel di mata masyarakat.

Namun, pemanfaatan teknologi digital juga harus diimbangi dengan regulasi yang adaptif dan tanggap terhadap perubahan zaman. Perkembangan ekonomi digital yang begitu cepat sering kali melampaui kecepatan pembaruan kebijakan fiskal. Jika regulasi tidak segera menyesuaikan, potensi penerimaan negara dapat hilang karena praktik penghindaran pajak dan minimnya kepastian hukum bagi pelaku usaha. Oleh sebab itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kerangka hukum perpajakan mampu menjawab dinamika ekonomi digital tanpa menghambat inovasi. Regulasi yang jelas, adil, dan fleksibel akan memberikan kepastian bagi dunia usaha sekaligus memastikan negara memperoleh haknya dari setiap aktivitas ekonomi yang berlangsung di ranah digital.

Transformasi digital dalam sistem perpajakan tidak akan berhasil jika hanya ditopang oleh kebijakan pemerintah semata. Diperlukan keseimbangan antara peran pemerintah dan kesadaran masyarakat dalam beradaptasi dengan perubahan tersebut. Di satu sisi, masyarakat sebagai wajib pajak dituntut untuk lebih patuh dalam melaporkan serta membayarkan kewajiban pajaknya secara tepat waktu, meskipun melalui mekanisme digital yang mungkin masih terasa baru bagi sebagian orang. Di sisi lain, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa digitalisasi perpajakan berjalan inklusif, mudah diakses, dan disertai sosialisasi yang jelas. Penyediaan edukasi, pendampingan, serta sistem yang sederhana menjadi kunci agar masyarakat tidak hanya merasa terbebani, tetapi juga memahami manfaat kepatuhan pajak bagi pembangunan nasional. Dengan adanya sinergi antara kesadaran masyarakat dan peran aktif pemerintah, transformasi digital justru akan memperkuat penerimaan negara sekaligus menumbuhkan rasa keadilan fiskal.

Pada akhirnya, masa depan penerimaan negara Indonesia di era digital akan sangat ditentukan oleh sejauh mana pemerintah mampu mengelola peluang sekaligus mengantisipasi tantangan yang ada. Digitalisasi bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga menyangkut perubahan perilaku masyarakat, pola bisnis, serta dinamika global yang bergerak cepat. Oleh karena itu, sinergi antara kebijakan fiskal yang adaptif, teknologi yang mumpuni, dan partisipasi aktif dari masyarakat menjadi kunci dalam memastikan penerimaan negara tetap stabil dan berkelanjutan.

Saya meyakini bahwa era digital bukanlah ancaman, melainkan momentum emas untuk memperkuat fondasi fiskal Indonesia. Dengan tata kelola penerimaan yang transparan, regulasi yang adil, dan dukungan teknologi modern, Indonesia tidak hanya mampu menjaga keberlangsungan pembangunan, tetapi juga memperkuat kemandirian ekonomi bangsa. Jika transformasi ini dapat dijalankan dengan konsisten, maka penerimaan negara di masa depan akan menjadi lebih kokoh, inklusif, dan mampu menjawab tantangan zaman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun