Mohon tunggu...
Annisa Nur Rahmah
Annisa Nur Rahmah Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kewenangan Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar'iyyah di Nanggroe Aceh Darussalam

4 Oktober 2025   07:19 Diperbarui: 4 Oktober 2025   07:19 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adapun hukum materil dalam bidang mu‘āmalah (perdata pada umumnya) yang telah ditetapkan pula menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah, sampai saat ini belum disusun qanunnya. Oleh karena itu kewenangan di bidang tersebut belum dapat dilaksanakan, kecuali beberapa perkara perdata yang sejak dulu telah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, seperti masalah wakaf, hibah, wasiat dan sadakah. 

     a). Kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok pengadilan agama (Mahkamah Syar’iyah di Aceh) tersebut dibagi dua yaitu:

  • Kewenangan relatif.

Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum pengadilan mana tergugat bertempat tinggal. Kewenangan relatif ini mengatur pembahagian kekuasaan pengadilan yang sama, misalnya antara Mahkamah Syar’iyah Bireuen dengan Mahkamah Syar’iyah Langsa, sehingga untuk menjawab apakah perkara ini menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah Bireuen ataukah Mahkamah Syar’iyah Langsa, didasarkan kepada wilayah hukum mana Tergugat bertempat tinggal. Dalam bahasa Belanda kewenangan relatif ini disebut dengan “distributie van rechtsmacht”. Atas dasar ini maka berlakulah asas “actor sequitur forum rei”. Namun demikian ada penyimpangan dari asas tersebut di atas, yaitu khusus perkara gugat cerai bagi yang beragama Islam, maka gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama di mana Penggugat bertempat tinggal. Hal ini adalah hukum acara khusus yang diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sehingga berlaku asas “lex specialis derogat lex generalis” artinya aturan yang khusus dapat mengalahkan aturan yang umum.

  • Kewenangan mutlak (absolute)

Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.

Dengan kata lain, kekuasaan absolut adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, seperti contoh:

  • Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.
  • Pengadilan Agama yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara ke Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.
  • Banding dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi.

Terhadap kekuasaan absolut ini Pengadilan Agama harus meneliti perkara yang diajukan kepadanya, apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Kalau bukan, maka dilarang menerimanya. Kalaupun diterima, maka tergugat dapat mengajukan keberatan (eksepsi absolut) dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama dan boleh kapan saja, baik tingkat banding maupun kasasi.

Kewenangan mutlak atau kompetensi absolut adalah wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. Kewenangan mutlak ini untuk menjawab pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya sengketa ekonomi syari’ah, menjadi kewenangan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Dalam bahasa Belanda kewenangan mutlak disebut “atribute van rechtsmacht” atau atribut kekuasaan kehakiman. 

Berdasarkan uraian teori tersebut di atas, maka perluasan beberapa kewenangan peradilan agama merupakan sebuah keniscayaan, mengingat semua yang menjadi wewenang peradilan agama, baik menyangkut tentang perkawinan, waris, wakaf, zakat, sampai pada masalah ekonomi syari’ah, kesemuanya merupakan sesuatu yang telah melekat pada masyarakat muslim. Artinya, hukum Islam yang menjadi bagian dari kewenangan peradilan agama selama ini telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan diamalkan oleh masyarakat muslim di Indonesia. Bahkan semestinya, kewenangan peradilan agama tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan tersebut, tetapi juga menyangkut persoalan hukum Islam lainnya yang selama ini telah dipraktikkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. 

Perluasan wewenang pengadilan agama setelah diundangkannya UndangUndang No 3 Tahun 2006 tentang perubahan ke dua Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, antara lain meliputi bidang ekonomi syariah. Penyebutan ekonomi syariah menjadi penegas bahwa kewenangan pengadilan agama tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. 

     b). Pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar’iyah yang menyangkut sebagian wewenang peradilan umum

Sampai saat ini telah disahkan 5 (lima) qanun sebagai hukum materil yang berhubungan dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di bidang jināyah, yaitu:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun