Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Jadi Sineas Juga Harus Cerdas

17 Mei 2012   10:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:11 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13372507881464146328

[caption id="attachment_181926" align="aligncenter" width="480" caption="beberapa adegan di serial televisi "ER" (sumber: http://er.otavo.tv/download-er-episodes)"][/caption]

IYA. Judul tulisan saya ini mirip dengan tulisan kompasianer Yety Ursel yang HL kemarin. Tentang pentingnya kecerdasan seorang penulis fiksi dalam mengolah dan menyandingkan imajinasinya dengan data atau fakta yang akurat agar bisa menghasilkan tulisan fiksi yang benar-benar hidup dan seolah nyata. Hmmm...sembari membaca itu, tiba-tiba saya jadi teringat sesuatu.

Kalau sedang tidak melakukan aktivitas harian, terkadang saya memilih menonton televisi. Biasanya kalau sore acaranya lumayan asyik, terutama di salah satu channel Buddhist yang ber-tagline "Televisi Cinta Kasih" itu. Saya memang tidak melihat tentang etnis atau agamanya, karena apa yang ditayangkan -terutama film serinya- memang mengandung nilai-nilai kehidupan yang bersifat universal. Saya kadang-kadang suka menontonnya, apalagi sore, kira-kira jam 4. Di situ ada tayangan kisah-kisah nyata inspiratif yang disinemakan.

Seperti waktu itu. Saya menontonnya sudah setengah jalan, tapi masih dapat mengikuti alur ceritanya sampai selesai. Ada sebuah adegan yang menarik perhatian saya. Kala seorang dokter bedah tiba-tiba meringis karena tak sengaja tertusuk jarum yang ujungnya berlumur darah pasien yang dioperasinya. Seorang perawat yang mendampingi melihat itu dan langsung menyarankan sang dokter untuk berganti handschoen (baca; hanskun, sarung tangan berbahan lateks). Dokter itu menurut dan segera mengganti handschoen-nya dengan yang baru. Sebelum melanjutkan operasi, sang dokter sempat tercenung sambil flashback, mengingat kejadian barusan. Adegan selanjutnya di ruang praktiknya masih juga seperti itu. Ia memandang telunjuknya yang tertusuk kecil sambil flashback.

Sambil terus menonton dan penasaran, saya lalu bertanya pada suami saya yang ikut menonton.

"Iya, bener itu kalau dokternya ganti handschoen. Karena dikhawatirkan darah pasien itu ikut masuk ke luka di jarinya itu. Kan kita nggak tahu darah pasiennya gimana. Siapa tahu darah pasiennya ternyata terinfeksi HIV." Saya manggut-manggut mendengar jawaban suami saya.

Dan benar saja. Adegan selanjutnya menunjukkan hasil pemeriksaan darah pasien tersebut positif terjangkit HIV. Sampai di situ, cerita makin seru dan membuat penasaran. Tapi bukan itu inti yang ingin saya sampaikan di sini. Saya hanya ingin menggambarkan betapa sinema yang diproduksi negara China tersebut begitu memperhatikan detail cerita, kelengkapan dan keakuratan properti yang digunakan untuk produksi sebuah film. Meskipun itu "hanya" film televisi.

Cukup sering terjadi, ketika saya dan suami menonton film Indonesia di televisi yang pernah tayang di bioskop. Film itu disebut-sebut sebagai film yang mendapat banyak apresiasi dari banyak kalangan. Tema, alur cerita dan lakonnya diperankan dengan baik oleh para pemain film. Namun seketika citra film yang sempat terbangun baik di benak itu, agak rusak ketika pada salah satu adegan film terlihat tak sesuai kenyataan. Khususnya yang berkaitan dengan adegan di ruang praktik dokter atau rumah sakit. Suami saya yang berprofesi sebagai dokter itu sempat unjuk protes. Mulai dari gejala-gejala penyakit yang tak sesuai dengan diagnosa dokter, lembar hasil rontgen yang dibaca terbalik, masker oksigen yang tak tepat pakai, grafik monitor alat di ruang ICU yang tak cocok dengan kondisi pasien, sampai jarum infus yang "ditusukkan" asal-asalan.

Wah, pikir saya. Sayang juga kalau film-film produksi anak bangsa itu tak memperhatikan detail seperti itu. Padahal penonton terkadang tak sekadar menonton, tapi juga menikmati jalan cerita sampai ke detail-detailnya. Apalagi kalau penontonnya termasuk orang yang teliti dan berprofesi sama dengan tokoh yang ada di dalam cerita. Pastilah mulai muncul sikap kritis. Mulai menilai apakah yang ditayangkan itu sesuai dengan gambaran profesinya pada kehidupan nyata.

Padahal, kalau mau, kenapa nggak survey atau riset dulu dengan kondisi rumah sakit yang sebenarnya," ujar suami saya. Ya, kenapa tidak menyediakan waktu untuk sekadar riset sejenak dengan dokter sungguhan yang ada di rumah sakit. Melihat dan bertanya bagaimana sebenarnya tampilan orang yang menderita penyakit psirosis, misalnya. Atau bagaimana penanganan dokter terhadap pasien, sampai bagaimana penggunaan alat-alat medis berkaitan dengan penyakit yang diderita pasien, dan seterusnya. Hasil riset ini tentu berguna demi menghasilkan film yang berkualitas tinggi. Coba saja kita tonton film-film Hollywood maupun Asia yang ber-setting rumah sakit. Semuanya tampak dari hasil riset yang serius tentang kondisi pasien penyakit tertentu, cara penanganan dokter, dan situasi rumah sakit yang sebenarnya. Film itu jadi tampak nyata!

Saya kurang tahu bagaimana gambaran profesi lain ditampilkan dalam sebuah film (Indonesia). Tapi agaknya bisa dikatakan kalau film-film kita masih kurang serius digarap dengan hasil riset yang akurat. Ini khususnya pada film-film dengan adegan yang menyangkut profesi-profesi umum yang sering ditampilkan seperti; dokter, arsitek, polisi, dan sebagainya. Masalahnya, ini adalah film, yang seharusnya dapat dibuat sesempurna mungkin. Bukan acara kejar tayang seperti sinetron. Kalau sinetron, bisa "dipahami', karena pastilah orang-orang yang terlibat dalam produksinya kurang waktu untuk melakukan riset.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun