Mohon tunggu...
Annisa Fitriani
Annisa Fitriani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa yang bersemangat, berkepribadian baik, dan selalu terbuka untuk belajar hal-hal baru. Saya memiliki tekad yang kuat untuk terus berusaha dan berkembang, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Dengan minat besar dalam berinteraksi dan berbagi pengalaman dengan orang lain, saya senang membangun relasi yang positif dan saling mendukung. Di waktu luang, saya gemar menjelajahi tempat-tempat tenang untuk menyegarkan pikiran, yang membantu saya menjaga keseimbangan antara studi dan kehidupan pribadi. Semangat untuk berbagi dan belajar menjadikan saya pribadi yang adaptif dan mudah bekerja sama dalam berbagai lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tragedi Juliana di Gunung Rinjani: Saat Duka Menyentuh Batas Negara dan Hati Nurani

12 Juli 2025   01:04 Diperbarui: 12 Juli 2025   01:07 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angin pagi di puncak Gunung Rinjani seolah menjadi saksi bisu saat seorang pendaki asal Brasil, Juliana Marins, tergelincir dan terjatuh ke jurang sedalam ratusan meter pada tanggal 21 Juni 2025. Wanita yang dikenal berjiwa petualang dan penuh semangat itu akhirnya ditemukan tak bernyawa setelah tiga hari pencarian yang penuh tantangan oleh tim SAR gabungan. Kabar kematiannya mengalir deras, tidak hanya di media lokal, tapi juga menjadi sorotan internasional. Di balik kisah duka ini, muncul pula berbagai pertanyaan, keluhan, dan tudingan---mengarah pada dugaan kelalaian, prosedur evakuasi yang lamban, hingga tuntutan keadilan oleh pihak keluarga.Namun, di tengah riuhnya pemberitaan dan opini publik, muncul kebutuhan mendesak untuk memandang peristiwa ini dari sisi yang lebih jernih: bukan sekadar mencari siapa yang salah, tetapi bagaimana tragedi ini bisa menjadi cermin bagi sistem pendakian di Indonesia, sekaligus pelajaran bersama tentang keselamatan, hukum, dan kemanusiaan.

Secara hukum, setiap pengelola kawasan wisata alam---baik pemerintah daerah, taman nasional, maupun pemandu lokal---memiliki kewajiban untuk menjaga keselamatan pengunjung. Tanggung jawab itu melekat pada prinsip kehati-hatian. Namun ketika semua prosedur telah dijalankan dan risiko alam terjadi di luar kendali, maka kematian bisa dianggap sebagai musibah, bukan kelalaian. Inilah yang harus dikaji secara objektif, agar tidak terjadi penghakiman sepihak.

Di sisi lain, tragedi ini membuka mata banyak pihak bahwa sistem regulasi pendakian kita belum sepenuhnya siap menghadapi keadaan darurat ekstrem. Masih banyak celah yang harus diperbaiki---mulai dari kewajiban pendampingan oleh pemandu resmi, penerapan pelacak GPS, hingga keharusan asuransi untuk para pendaki. Tak kalah penting, sistem evakuasi darurat juga perlu ditinjau kembali: apakah sudah cukup cepat, tanggap, dan terlatih? Apakah semua prosedur sudah disosialisasikan dengan jelas?

Lebih jauh dari itu, komunikasi antar-negara pun menjadi sangat krusial. Pemerintah Indonesia sebaiknya membuka ruang transparansi dan empati, bukan semata karena tekanan publik, tapi sebagai bentuk tanggung jawab moral. Sementara pihak keluarga di Brasil juga berhak menyuarakan kegundahan mereka---tentu dengan harapan bahwa yang mereka cari bukan hanya jawaban, tetapi juga keadilan yang bisa dirasakan dengan hati nurani.

Agar tidak terjadi saling tuding dan saling menyalahkan, diperlukan pendekatan yang bijak. Kita bisa mulai dari komunikasi terbuka, transparan, dan penuh rasa kemanusiaan. Jika ada kekurangan, perbaikilah. Jika ada kelalaian, akuilah. Jika tidak ditemukan pelanggaran, maka mari bersama menyebutnya sebagai musibah yang patut ditangisi, bukan dijadikan ajang debat tak berkesudahan.

Peristiwa meninggalnya Juliana Marins adalah luka bagi keluarga yang ditinggalkan, tapi juga menjadi alarm peringatan bagi Indonesia sebagai negara wisata alam. Sudah saatnya tragedi ini dijadikan momentum untuk berbenah. Karena dari setiap kehilangan, semestinya lahir kesadaran baru untuk menjaga nyawa, menjaga kepercayaan, dan menjaga wajah negeri ini di mata dunia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun