Maka secara berkala diadakan pemilihan untuk memilih pelayan yang baru. Di masa lalu, banyak orang enggan dicalonkan karena merasa tidak layak.Â
Menjadi pelayan rumah ibadah kala itu identik dengan hidup sederhana dan penuh keteladanan. Mereka melayani bukan karena ingin dikenal, melainkan karena panggilan iman.
Kata panggilan dalam bahasa Inggris disebut vocation, yang menurut Cambridge Dictionary berarti "pekerjaan yang dirasa cocok dan membuat seseorang rela mendedikasikan waktu serta energinya untuk itu."Â
Pelayan yang melayani karena panggilan memiliki kesadaran bahwa tanggung jawabnya bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Tuhan.Â
Prinsip kejujuran, ketulusan, dan kebenaran menjadi dasar dalam setiap tindakan. Mereka tidak takut menyuarakan yang benar, meskipun itu berarti harus bersikap tegas kepada orang-orang dekat sekalipun.
Namun, tidak semua orang melayani karena panggilan. Ada juga yang termotivasi oleh ambisi.
Ambisi, menurut Cambridge Dictionary, adalah keinginan kuat untuk mencapai sesuatu yang spesifik. Bagi sebagian orang, menjadi pelayan di rumah ibadah berarti meraih kehormatan sosial, dianggap suci, dan disegani.Â
Maka, tak sedikit yang ingin divalidasi dengan gelar dan jabatan, bahkan sampai melakukan pendekatan-pendekatan personal demi mendapat dukungan.Â
Praktik-praktik ini mengingatkan kita pada proses politik di dunia sekuler: membangun kelompok dominan, menjanjikan posisi, atau mencari dukungan demi terpilih.
Kita pun bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dicari? Apakah uang? Kuasa? Ataukah sekadar status? Pelayanan yang seharusnya suci justru dikotori oleh permainan yang tidak sehat. Ini menyisakan keprihatinan.Â