Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sinaboi, Nostalgia, dan Asa

30 Juli 2022   16:22 Diperbarui: 16 Agustus 2022   00:47 2171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah menempuh perjalanan sejauh 30 Km selama kurang lebih satu jam dari kota Bagansiapiapi, mobil kami berhenti di jembatan kayu Sinaboi. Saya terkesiap melihat jembatan dengan panjang sekitar 103 meter. [1]

Untuk masuk ke Sinaboi, kami harus menyeberangi jembatan tersebut. Harus diakui, saya takut.

Berjalan kaki menyeberangi jembatan kayu yang tidak rata dan sedikit rusak pada beberapa bagian, bagaimana jika saya jatuh? Apa yang akan terjadi jika saya tercebur ke dalam sungai?

Seorang pemuda mendekati kami, menawarkan ojek motor. Kami datang bertujuh, namun ojek motor yang tersedia hanya tiga.

Akhirnya disepakati bahwa tante, om, dan sepupu saya akan menyeberang terlebih dahulu. Setelah itu, dua ojek motor akan kembali dua kali untuk menjemput saya, anak saya, dan dua orang teman seperjalanan.

Jembatan kayu Sinaboi -- tampak samping | dokpri
Jembatan kayu Sinaboi -- tampak samping | dokpri
Sambil menunggu, saya sempat berbincang-bincang dengan seorang ibu. Beliau bercerita bahwa jembatan tersebut adalah satu-satunya jalan masuk ke Sinaboi.

Menurut ibu yang tidak ingin disebut namanya, jembatan Sinaboi memang sudah diperbaiki beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir ini. Sempat ada wacana membangun jembatan beton permanen, namun belum terealisasi karena besarnya anggaran.

Setelah menunggu beberapa lama, tibalah ojek motor yang akan menjemput saya. Sekali lagi hati saya diliputi keraguan.

Teringat suatu malam pada Maret 1986. Saat itu, kami bekerja lembur menyelesaikan SPT Tahunan para klien.

Malam itu, saya pulang dibonceng seorang kolega. Mungkin karena terlalu lelah, saya tertidur dalam perjalanan dan terjatuh.

Entah berapa lama saya tidak sadarkan diri. Ketika terbangun, saya sudah terbaring di ranjang rumah sakit.

Saya sempat mengalami gegar otak, mendapatkan beberapa jahitan pada luka di kepala, dan dirawat selama tiga minggu di rumah sakit. Sejak saat itu, saya tidak berani naik motor lagi.

Tiga puluh enam tahun berlalu sejak peristiwa tersebut. Sekarang, di jembatan kayu Sinaboi ini, saya tidak memiliki pilihan lain selain memberanikan diri untuk menumpang ojek motor.

Sepanjang perjalanan, hati saya tidak berhenti mendaraskan doa, memohon perlindungan Tuhan. Rasanya lega sekali ketika motor berhenti di depan sebuah rumah di mana om, tante, sepupu, anak, dan teman-teman seperjalanan sudah menunggu.

Perubahan Itu Pasti, Hanya Kasih yang Abadi

Kami mulai melangkah menyusuri jalan-jalan desa Sinaboi. Tante, om, dan sepupu saya berjalan di depan.

Ada kesejukan mengalir di hati menyaksikan mereka bertiga. Saya tidak dapat menahan diri untuk mengabadikan momen tersebut.

Perubahan itu pasti, hanya kasih yang abadi | dokpri
Perubahan itu pasti, hanya kasih yang abadi | dokpri
Foto di sisi kiri memperlihatkan om dan tante berjalan berdampingan sambil bergandengan tangan. Lebih dari lima dekade telah berlalu sejak hari pertama mereka mengikat janji suci, kasih yang mempersatukan tetap bersemi, memancarkan keindahan relasi, menjadi teladan bagi kami, para pasutri yang lebih muda.

Foto di sisi kanan memperlihatkan tante dan sepupu saya berjalan bergandengan tangan. Ini adalah gambaran seorang anak yang berusaha melindungi ibu yang telah membesarkannya. Keindahan kasih ibu dan anak terpancar dari bahasa tubuh mereka.

Sepupu saya dikenal sebagai CEO yang berhasil membangun budaya perusahaan yang memanusiakan manusia. Dia terus berusaha menginisiasi berbagai gerakan positif, membantu banyak orang hidup lebih sehat, lebih peduli lingkungan, dan membuat perusahaan yang dipimpinnya menjadi role model bagi berbagai organisasi dalam hal budaya organisasi.

Dia juga dikenal sebagai figur yang menginspirasi banyak anak muda agar berani bermimpi. Dia menjadi bukti nyata bagaimana ketekunan doa dan kegigihan usaha dapat mengubah seorang anak desa dari keluarga rata-rata menjadi CEO yang sukses di ibu kota.

Pagi itu di Sinaboi, saya tidak melihat figur CEO dan inspirator yang dikagumi banyak orang. Saya melihat seorang anak yang mengasihi kedua orangtuanya dalam kesederhanaan, dan sepasang suami isteri yang membangun keluarga di atas landasan kebajikan, memupuk dan merawat pohon cinta kasih melintasi perubahan zaman.

Tunas Itu Tumbuh Menjadi Pohon Cinta Kasih yang Berbuah Kebajikan

Tante dan om telah melintasi banyak perubahan zaman. Tante, adik kedua ayah saya, lahir beberapa hari setelah Indonesia merdeka.

Di masa muda, beliau pernah mengabdi beberapa tahun menjadi guru sekolah di Sinaboi. Pergolakan politik pada tahun 1965 memupus harapannya mencerahkan masa depan anak-anak Sinaboi. Sekolah ditutup, tante saya harus kembali ke Bagansiapiapi.

Sekolah tempat tante mengajar, sekarang SD Negeri 001 -- Sinaboi | dokpri
Sekolah tempat tante mengajar, sekarang SD Negeri 001 -- Sinaboi | dokpri
Kisah hidup om, suami tante, tidak kalah berliku. Pada tahun 1936, orangtuanya datang ke Bagansiapiapi dari Quan Zhou di daratan Cina.

Bersama beberapa teman, sang ayah membangun usaha memproduksi dan menjual misoa. Misoa adalah mie halus berwarna putih yang panjangnya dapat mencapai 180 cm.

Dalam tradisi Tionghoa, misoa melambangkan panjang umur. Misoa kuah sering ditemukan dalam perayaan ulang tahun, tahun baru Imlek, hingga pernikahan.

Pada tahun 1938, para teman kembali ke Cina karena ada keluarga di sana yang menunggu. Ayahnya membeli dan mengembangkan usaha tersebut.

Dalam kesulitan ekonomi di tahun 1950an, kakaknya meneruskan usaha orangtua mereka. Pada saat itu, om yang sudah lulus SD, ikut membantu membuat misoa karena tidak dapat melanjutkan pendidikan SMP akibat keterbatasan keuangan keluarga.

Usaha misoa berkembang dan mereka mulai memproduksi varian lain seperti mie dan ke tiau ciam (kwetiau kering). Usaha tersebut diberi merek "Tunas" dengan logo "Shuang Xi" (囍) pada tahun 1960an.

"Shuang Xi" (囍) melambangkan kebahagiaan. "Tunas" melambangkan benih yang tumbuh. Secara sederhana, merek dan logo tersebut mengandung harapan agar benih yang ditanam kelak tumbuh menjadi pohon cinta kasih yang berbuah kebajikan dan memberi kebahagiaan bagi lingkungan.

Om tidak menyerah pada keadaan. Beliau tetap melanjutkan SMP di sekolah malam setelah selesai bekerja. Akhirnya, beliau juga mengabdi sebagai guru di sekolah malam tersebut. Kegigihan om diwarisi oleh anaknya yang pernah saya ceritakan di sini.

Tunas yang dirawat om dan tante kini telah tumbuh menjadi pohon cinta kasih yang berbuah subur. Usaha mie "Tunas" milik om kini dikelola oleh generasi ketiga. Meneladan kedua orangtua, anak-anak mereka kini melanjutkan usaha menebar kebajikan sesuai panggilan hidup masing-masing.

Tidak Melupakan Akar

Di makam buyut, ibu dari kakek kami | dokpri
Di makam buyut, ibu dari kakek kami | dokpri
Melintasi zaman, tunas itu telah tumbuh menjadi pohon cinta kasih dan berbuah kebajikan. Namun, tentu saja sebagai bagian dari pohon itu, kami tidak boleh melupakan akar.

Menghormati leluhur, adalah salah satu bentuk kebajikan juga. Agenda ziarah ke makam buyut (kami memanggilnya 'A Co'), ibu dari kakek serta beberapa orang Cekong (adik dari kakek), menjadi bagian dari perjalanan kami ke Sinaboi kali ini.

Sedikit Catatan Kecil dari Sinaboi dan Refleksi

Banyak perubahan telah terjadi di Sinaboi setelah sekian dekade tidak kami kunjungi. Di masa kanak-kanak saya, jarak Bagansiapiapi dan Sinaboi hanya dapat ditempuh lewat jalur laut.

Tempat bersandar feri sekarang menjadi sedikit dari jalan papan yang masih tersisa. Sebagian besar jalan di Sinaboi kini berupa jalan beton.

Lokasi tempat sandar feri | dokpri
Lokasi tempat sandar feri | dokpri

Sedikit jalan papan yang tersisa | dokpri
Sedikit jalan papan yang tersisa | dokpri
Saat masih SD, beberapa kali saya berkunjung ke Sinaboi saat liburan sekolah. Salah satu yang saya ingat adalah rumah-rumah panggung. Sore hari saat air laut pasang, anak-anak dengan bebas berenang di depan rumah.

Kini, tidak banyak lagi rumah panggung yang tersisa. Sebagian rumah panggung telah berubah menjadi rumah walet.

Sedikit rumah panggung yang tersisa | dokpri
Sedikit rumah panggung yang tersisa | dokpri

Rumah walet | dokpri
Rumah walet | dokpri
Saat beristirahat di area pemakaman, kami sempat mendengar cerita abang ojek yang menggugah hati. Pernah ada penduduk yang mengidap darah tinggi. Suatu malam, penyakitnya kambuh.

Dengan kondisi jembatan kayu, ambulans tidak dapat masuk. Para tetangga lalu membawa pasien dengan gerobak untuk menyeberang jembatan, menuju ambulans yang akan membawanya ke Bagansiapiapi.

Apa daya, pasien tersebut menghembuskan nafas terakhir sebelum mencapai tempat ambulans menunggu. Kisah nyata tentang nasib orang-orang pinggiran yang sulit mengakses fasilitas kesehatan ini sungguh membuat hati trenyuh.

Peristiwa yang saya alami selama setengah hari di Sinaboi, sungguh membuat saya merasa terberkati. Saya bersyukur setelah perjalanan tersebut, saya tidak takut naik motor lagi.

Saya merasa terberkati boleh berziarah ke makam A Co dan Cekong, bersama tante, om, dan sepupu yang sangat menginspirasi. Akhir kata, saya berdoa untuk semua warga Sinaboi.

Semoga segera ada orang baik yang tergerak hati membangun jembatan permanen yang memadai di Sinaboi, agar akses warga Sinaboi terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan dapat diperbaiki.

Jakarta, 30 Juli 2022.

Siska Dewi

***

Referensi: 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun