Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Inilah 5 Resep Bahagia Menikah dengan WNA

20 Juli 2021   18:00 Diperbarui: 21 Juli 2021   03:01 1483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menikah dengan WNA (sumber: prostooleh/freepik)

Internet telah mengubah dunia menjadi sebuah desa global. Orang-orang dari negara yang berbeda dapat berinteraksi dengan cepat dan mudah, lalu saling jatuh cinta.

Menjalani pernikahan dengan WNA tidak selalu mudah. Perbedaan latar belakang, budaya, bahasa, atau bahkan agama, seringkali dipandang sebagai kendala.

Meski pepatah mengatakan cinta itu buta, dinamika saat memadukan perbedaan yang ada tak selalu indah. Ketika keadaan menjadi serba salah, seringkali salah satu pihak menjadi “buta”.

Lalu, bagaimana jika Anda dilamar oleh seorang WNA? Beberapa pasutri pernikahan campuran berkenan berbagi pengalaman. Saya mencoba merangkumnya untuk Anda.

Keputusan paling berat, tinggal jauh dari keluarga

"Yang paling berat adalah ketika memutuskan ikut suami, tinggal jauh dari keluarga." Kata Ria, seorang ibu muda asal Jakarta yang kini tinggal di Izmir, Turki. Kisah tentang Ria pernah saya tulis di artikel ini.

Mau ngapain di sana? Betah, nggak? Seperti apa kehidupan di sana nanti? 

Apakah aku nanti masih bisa bertemu dengan keluarga? Jarak Jakarta-Turki itu 10 jam dengan penerbangan direct, sangat mahal di ongkos.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Lilan (nama samaran), ketika dilamar oleh seorang pria yang dikenalnya lewat Friendster, media sosial yang populer di tahun 2000-an, 13 tahun yang lalu.

Meninggalkan keluarga di Jakarta, itu yang paling berat. Aku memang merasa sudah sangat dekat secara emosional dengan dia melalui percakapan di Friendster

Dia datang ke Jakarta, tinggal di sini selama sebulan. Dalam sebulan itu, dia minta aku kenalkan dia kepada para kerabat dan sahabatku.

Lalu dia melamarku, mengajak aku memulai kehidupan baru bersamanya di Christchurch, Selandia Baru. Rasanya seperti mimpi.

Bagi Ria dan Lilan, memutuskan untuk tinggal jauh dari keluarga adalah keputusan yang berat. Namun tidak demikian halnya dengan Sita dan Ron (keduanya nama samaran).

Sita bercerita bahwa dia sudah 3 tahun bekerja di Jakarta ketika memutuskan untuk menikah. Pada ulang tahun pernikahannya yang ke-5, Sita memutuskan untuk melepas kewarganegaraan Malaysia.

Tak terasa, sudah 25 tahun saya menjadi WNI. Hingga 3 tahun yang lalu, setiap tahun saya masih mengunjungi ayah saya di Kuala Lumpur. Setelah beliau berpulang, disusul dengan hadirnya pandemi COVID-19, hal itu tidak saya lakukan lagi.

Saat menikah dengan pujaan hatinya, Ron juga sudah bekerja di Duri, Riau, selama 5 tahun. Kini, pasutri Ron dan Hani (bukan nama sebenarnya) telah dikaruniai seorang putri.

Sampai saat ini, saya masih mempertahankan kewarganegaraan Kanada. Izin kerja dan izin tinggal saya di Indonesia diurus oleh perusahaan tempat saya bekerja. 

Putri kami sekarang masih kelas 10 dan masih berkewarganegaraan ganda. Kami akan biarkan dia memilih jika sudah cukup umur nanti.

Kerikil-kerikil kecil, bagaimana mengatasinya?

Dalam pernikahan campuran, ada kerikil-kerikil kecil yang terbentuk dari hal-hal sepele. Ria menyebut perbedaan menu sarapan sebagai tantangan tersendiri baginya.

Menu sarapan Turki itu rasanya hambar. Beda jauh dengan nasi goreng atau bubur ayam yang biasa disiapkan mama di rumah.

Aku berusaha mengambil positifnya saja. Menyiapkan menu sarapan ala Turki jauh lebih mudah dibanding menyiapkan menu sarapan ala Indonesia.

Perbedaan ini membuat aku dan suami belajar open minded dan belajar toleransi. Aku berusaha menyukai makanan Turki dan dia belajar menikmati nasi goreng.

Jika Ria menyebut menu sarapan, Lilan menyebut cara mencuci piring. 

Di Indonesia, kita menyabuni alat makan satu per satu lalu membilasnya dengan air keran yang mengalir.

Pada awal pernikahan, aku harus mempelajari cara orang Selandia Baru mencuci piring. “You have to fill the sink with hot water, put the detergent, and sink the dirty dishes.” 

Itu pelajaran mencuci piring dari suamiku. Menurutku, bukan soal benar atau salah sih. Ini hanya perbedaan kebiasaan. Setelah menjadi isteri, aku berusaha mengikuti kebiasaan suami.

Sebelum masuk ke topik "resep membangun keluarga campuran yang bahagia", mari dengarkan terlebih dahulu kisah Ria tentang suka duka punya suami Turki.

Resep membangun keluarga campuran yang bahagia

Rumah tangga Ria dan Göktuğ kini berumur 3 tahun lebih 4 bulan. Lilan dan John belum lama ini merayakan 13 tahun usia pernikahan mereka.

Ron dan Hani baru merayakan sweet seventeen ikatan pernikahan mereka. Sementara pernikahan Sita dan Bob sudah melewati tiga dekade.

Apa resep mereka dalam membangun keluarga bahagia? Keempat pasutri tersebut secara kompak mengatakan bahwa resep yang akan saya rangkum ini bukan hanya berguna untuk keluarga campuran melainkan untuk semua keluarga secara umum.

Pertama, sabar dan fokus pada sisi baik pasangan

Setiap hubungan ada pasang surutnya. Hubungan pernikahan memiliki pasang surut yang lebih intens.

Thomas Jefferson mengingatkan kita untuk menghitung sampai sepuluh jika sedang marah. Tingkat kesabaran bertambah seiring dengan latihan.

“Coba ingat, pernahkah kita mengucapkan kata-kata yang kita sesali kemudian?” Sita mengingatkan. “Umumnya, kata-kata yang kita sesali itu terucap pada saat kita sedang marah, bukan?”

“Setiap kali aku jengkel pada Ron, aku berusaha diam sejenak dan menghadirkan kembali hal-hal baik yang pernah dia lakukan untukku.” Hani menambahkan. “Fokus pada sisi baik pasangan membantuku meredakan kemarahan.”

Kedua, kembangkan pikiran terbuka (open mindedness)

Ria mengingatkan tentang pentingnya berpikiran terbuka. “Pernikahan campuran itu menyatukan dua latar belakang yang berbeda. Budayanya beda. Bahasanya beda. Agamanya juga mungkin beda. Aku dan suami berusaha untuk open minded dan belajar toleransi.”

Pendapat Ria diamini oleh Lilan. “Dengan orang yang senegara dan sesuku saja perlu penyesuaian karena suami dan isteri berasal dari dua keluarga dengan kebiasaan yang berbeda. Apalagi dengan WNA.”

Bob menyatakan setuju dengan pandangan itu. “Pandanglah perbedaan sebagai kesempatan untuk belajar dan bertumbuh, bukan berdebat dan mengeluh. Sungguh menakjubkan betapa saya masih belajar dari isteri saya bahkan setelah tiga dekade berlalu.”

Ketiga, beri kebebasan dan kepercayaan

Ada waktu tertentu ketika pasangan ingin menikmati kegiatannya tanpa keikutsertaan kita. “Sebelum pandemi, saya bermain badminton seminggu sekali dengan beberapa kolega pria. Usai olahraga, kami biasa menghabiskan waktu untuk ngobrol ngalor ngidul.” Kata Ron.

“Sama seperti Ron, saya juga punya jadwal mingguan untuk sekadar window shopping atau ngopi cantik bersama teman-teman kuliah. Kami menyebutnya Girls day out.” Imbuh Hani.

“Dan jangan terus-menerus memeriksa ponsel pasangan Anda,” Bob mengingatkan. “Tidak mempercayai pasangan bisa menggiring Anda ke jalan yang menuju perceraian. Tetapi perlu diingat, hal ini tidak berarti bahwa Anda boleh melakukan hal yang akan merusak kepercayaan pasangan Anda.”

Ilustrasi suami memeriksa ponsel isteri (sumber: Snowing/freepik)
Ilustrasi suami memeriksa ponsel isteri (sumber: Snowing/freepik)

Keempat, saling mendengarkan dan mendukung

“Banyak orang mengira enak bisa menikah dengan WNA lalu tinggal di luar negeri. Kondisi yang sesungguhnya lebih berat karena segala sesuatu harus dilakukan sendiri. Tidak mudah mendapat asisten rumah tangga atau babysitter di sini.” Kata Ria.

Ria bersyukur bahwa suaminya mau mendengarkan jika sesekali ia curhat tentang kondisi itu. Bahwa suami bersedia berbagi pekerjaan rumah tangga, baginya adalah suatu bentuk dukungan.

Bagi Bob, bentuk dukungan yang terbesar dari Sita adalah ketika sang isteri memutuskan untuk meninggalkan karier yang cemerlang di sebuah bank asing yang ternama, agar dapat membantu Bob mengembangkan bisnis yang dirintisnya.

Hal itu terjadi hampir seperempat abad yang lalu. Kini, pasutri Bob dan Sita telah memiliki beberapa perusahaan yang mempekerjakan ratusan pegawai.

Kelima, patuhi kesepakatan bersama

Lilan dan John, demikian juga Bob dan Sita, adalah pasangan yang seiman sejak sebelum menikah. Berbeda dengan Ria dan Göktuğ serta Ron dan Hani.

“Saya dan Hani sudah berpacaran beberapa tahun sebelum kami menikah.” Ron berkisah. “Sesaat sebelum menikah, saya memutuskan untuk menjadi mualaf. Itu adalah kesepakatan bersama yang saya jalani dengan komitmen penuh.”

“Perbedaan agama adalah hal sensitif yang aku bahas cukup dalam bersama Göktuğ. Kami sepakat untuk saling menghargai karena bagi kami, iman adalah masalah hati. Aku wujudkan komitmen dengan menemani dia berpuasa, sementara dia selalu memasang pohon terang menjelang Natal tiba.” Cerita Ria.

Ria melanjutkan dengan kesepakatan lain yang diambilnya bersama suami, yakni bahasa yang akan diajarkan kepada Attila, putra mereka. “Dokter sempat mengingatkan risiko speech delay yang cukup besar jika anak diajarkan lebih dari satu bahasa.”

Ria tidak ingin anaknya mengalami speech delay namun ia tetap ingin mengajarkan bahasa Indonesia. “Akhirnya kami sepakat untuk tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai prioritas. Aku ajak Attila berbahasa Indonesia, sementara suami dan mertua mengajaknya berkomunikasi dalam bahasa Turki.”

Mengakhiri obrolan kami, para pasutri pernikahan campuran ini sesuara bahwa elemen kunci dalam pernikahan mereka adalah komitmen untuk saling menghormati. Komitmen yang didasari cinta tanpa syarat dari Sang Ilahi.

Mereka juga menggarisbawahi pentingnya komunikasi. Komunikasi yang terbuka membantu menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada.

Jakarta, 20 Juli 2021

Siska Dewi

***

Baca juga: Menantu dari Indonesia Ini Sangat Disayang Mertua Turki

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun