Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Buku Kecil yang Mengubah Konsep Diriku

15 Mei 2021   11:33 Diperbarui: 15 Mei 2021   20:24 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konsep diri negatif (sumber foto: freepik)

Pada usiamu yang ke-135 hari, Diari, akhirnya aku menyapamu. Maafkan aku yang terlambat mengunjungimu, Diari.

Bukan karena aku tidak sayang padamu. Bukan! Kamu tahu, aku sangat menyayangimu. Aku hanya tidak ingin membiarkanmu terbuka di hadapan orang lain, karena kamu menyimpan terlalu banyak rahasia hidupku.

Ah, kamu tersenyum. Kamu pasti masih ingat semua rahasia yang aku percayakan kepadamu ketika dirimu masih berupa lembaran buku tulis dengan sampul yang cantik dan memiliki kunci gembok.

Those good old days! Hai, mengapa kini kita saling memandang dengan mata berkaca-kaca?

"Aku menyimpan terlalu banyak air matamu," katamu sendu. "Mengapa kau sebut hari-hari itu "those good old days'?"

Diari, sayangku. Aku akan selalu menyebut hari-hari itu sebagai hari-hari yang baik.

Ya, setiap hari dalam hidupku adalah hari yang baik. Pengalaman dukacita mengajarkan kepadaku untuk lebih bersyukur ketika mengalami sukacita.

Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.

Diari, ingatkah kamu, kalimat siapa yang aku kutip dan aku titipkan kepadamu empat puluh delapan tahun yang lalu?

Tepat! Bang Je! lihatlah, Diari, Dia hadir di sini! Dia selalu hadir saat kita memanggil nama-Nya.

Mari kita bernostalgia, Bang Je, Diari.

Khey, pemilik rumah besar tempat aku menumpang menulis, mengajakku berbagi kisah tentang buku kesayanganku saat masih anak-anak. Bagiku, itu adalah nostalgia perjumpaan pertama kita bertiga.

Kelas empat SD, Bang Je, dan Diari

Ilustrasi Khotbah di Bukit (sumber foto: sangsabda.wordpress.com)
Ilustrasi Khotbah di Bukit (sumber foto: sangsabda.wordpress.com)
Usiaku menjelang 8 tahun saat itu. Aku duduk di kelas empat SD. Suatu hari, guru agama memberi tugas mengarang tentang manusia pertama jatuh ke dalam dosa.

Bu Dorkas, ibu guru yang cantik itu, memuji karanganku. Sebuah buku kecil dihadiahkannya kepadaku.

Sebelumnya, aku tidak memiliki buku lain selain buku-buku pelajaran. Pada saat itu, kurikulum yang sama diterapkan bertahun-tahun. Buku pelajaran dapat digunakan turun-temurun dari kakak kepada adiknya.

Akan hal diriku, hampir semua buku pelajaran yang aku gunakan adalah bekas tante-tanteku. Karena itu, buku kecil hadiah dari bu Dorkas menjadi harta yang sangat berharga bagiku.

Setiap hari aku menyempatkan untuk membaca buku itu. Semakin aku baca, semakin aku mengenal dan menyayangi Bang Je, Sang Gembala yang baik dan murah hati.

Setiap kali aku dimarahi ibu, setiap kali aku mengecewakan ibu, setiap kali aku merasa takut atau merasa gagal, aku akan membuka buku itu. 

Apa yang aku cari? Kata-kata Bang Je yang menghibur dan menguatkan aku.

Hingga pada suatu hari, aku mendapat oleh-oleh dari tante Mei yang baru pulang dari Jakarta. Beliau adalah adik ipar tanteku.

Aku senang sekali mendapat oleh-oleh sebuah buku tulis tebal dengan sampul beludru motif bunga yang sangat cantik. Buku tulis itu memiliki gembok lengkap dengan anak kuncinya.

"Ini namanya Diari," kata tante Mei. "Di buku ini, kamu boleh menulis apa saja yang ingin kamu kenang jika sudah besar nanti. Buku ini ada gemboknya. Tidak ada orang lain yang bisa membaca isinya, kecuali kamu izinkan."

Aih, usia delapan tahun yang takkan terlupa!

Konsep diri

Ilustrasi konsep diri negatif (sumber foto: cookie_studio/freepik)
Ilustrasi konsep diri negatif (sumber foto: cookie_studio/freepik)
Bang Je, aku sungguh bersyukur dapat mengenal-Mu. Aku tahu, bukan aku yang memilih-Mu melainkan Engkaulah yang memilih aku.

Sebelum aku mengenal Bang Je, aku sempat membenci diriku. Ayahku direnggut paksa dari keluarga kami saat aku masih berusia beberapa bulan.

Aku sempat merasa, seandainya aku tidak lahir, mungkin bencana itu tidak akan menimpa ayah. Terlalu sering aku mendengar cerita tentang anak-anak pembawa sial.

Selain merasa sebagai anak pembawa sial, aku juga merasa diriku adalah sumber penderitaan ibu. Seandainya aku tidak terlanjur lahir, barangkali ibu akan bersedia menerima pinangan lelaki lain setelah ayah tiada. Dengan demikian, ibu dapat menemukan kebahagiaannya.

Perasaan bahwa diriku adalah sumber penderitaan ibu membuatku merasa sangat bersalah. Aku berusaha menebus kesalahan itu dengan menjadi anak yang penurut. Aku berusaha memenuhi semua keinginan ibu untuk menyenangkan hatinya.

Namun, terlepas dari semua usaha yang kulakukan, seringkali aku mengecewakan ibu dan merasa gagal. Konsep diri negatif terbentuk dari pengalaman-pengalaman buruk.

Kehadiran Bang Je dalam buku kecil yang dihadiahkan bu Dorkas kepadaku, secara perlahan namun pasti mengubah konsep diriku. Setiap kali aku mulai merasa gagal dan khawatir, Bang Je selalu berbisik di hatiku.

Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? 

Pentingnya pendidikan iman untuk anak-anak

Diari, dari pengalamanku, aku menyadari pentingnya pendidikan iman untuk anak-anak. Orangtua Kristiani sepertiku difasilitasi oleh penerbit yang menerbitkan kitab suci untuk anak-anak.

Aku percaya, rekan-rekanku yang muslim serta yang beragama Buddha dan Hindu juga dapat menemukan buku-buku yang cocok untuk anak-anak mereka.

Sebagian buku koleksi keluarga kami (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Sebagian buku koleksi keluarga kami (sumber foto: dokumentasi pribadi)
Ada banyak buku anak-anak yang baik. Ada cerita rakyat dan dongeng yang kaya akan pendidikan budi pekerti, kisah hidup tokoh-tokoh dunia yang penuh inspirasi, serta buku-buku tentang sains dan ruang angkasa. Semua buku tersebut baik untuk diberikan kepada anak sesuai dengan minat mereka.

Namun, menanamkan pendidikan iman melalui cerita-cerita ilustrasi, menurutku adalah yang terbaik yang dapat diberikan orangtua kepada anak-anak mereka. Harga buku-buku rohani sungguh tidak mahal. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pengeluaran untuk mengajak anak berlibur ke luar negeri, atau menghadiahi mereka dengan gawai teranyar serta barang bermerk lainnya.

Kita cukupkan nostalgia kita kali ini ya, Diari. Bang Je, terima kasih sudah berkenan hadir. 

Sekarang, temani aku berkunjung ke rumah Bunda yuk, Bang Je. Lihat, aku membawa rosario buatan tangan anakku.   

Jakarta, 15 Mei 2021

Siska Dewi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun