Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memanjakan Diri Setiap Hari, Bisa?

6 Maret 2021   11:26 Diperbarui: 7 Maret 2021   02:15 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memanjakan diri dengan menulis (foto oleh lookstudio via freepik)

"Sikapmu terhadap diri sendiri itu bukan hemat. Kamu pelit!" Komentar ini sering saya dengar dari kolega dan atasan saya, sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu.

"Jangan terlalu keras terhadap diri sendiri!" Ini adalah saran dari seorang sahabat saya pada saat itu.

Mengapa para kolega mengatakan saya 'pelit' dan mengapa sahabat saya mengingatkan saya untuk tidak terlalu 'keras' terhadap diri sendiri? Inilah cerita saya.

Hidup ini keras, jangan foya-foya!

Saya masih ingat, saat duduk di kelas dua SMP, seorang teman sekelas meminta saya menjadi teman belajar bagi dirinya. Dia meminta saya datang ke rumahnya seminggu tiga kali saat pulang sekolah, sesuai jadwal pelajaran matematika.

Di rumahnya, kami mengerjakan pekerjaan rumah. Sering kali dia minta saya menjelaskan kepadanya hal-hal yang dia kurang mengerti. Untuk kegiatan tersebut, dia memberi saya honor layaknya seorang guru les. Awalnya saya menolak, tetapi dia memaksa saya menerima. Itu adalah cara dia mengapresiasi saya, katanya.

Pada hari ulang tahun saya, bersama seorang teman yang lain, dia mentraktir saya makan di restoran bakmi favoritnya dan nonton bioskop. Saya masih ingat komentar ibu saya pada saat itu, "Begitulah cara anak orang kaya menghamburkan uang orangtua mereka. Mama izinkan kamu, hanya untuk sekali ini saja. Hidup ini keras, jangan foya-foya!"

Ibu saya tak pernah memanjakan dirinya

Hingga beliau menutup mata untuk selamanya, saya tidak pernah melihat ibu saya memanjakan dirinya. Sesekali beliau membuat baju baru, tetapi saya tahu bahwa hal itu bukan dalam rangka memanjakan diri, namun karena beliau memang butuh.

Ilustrasi menjahit (foto oleh cookie_studio via freepik)
Ilustrasi menjahit (foto oleh cookie_studio via freepik)

Sebelum saya menikah, saya tidak pernah membeli baju untuk diri sendiri. Sesekali, para om dan tante menghadiahi saya baju. Selain baju-baju hadiah tersebut, hampir semua baju yang saya pakai adalah hasil jahitan ibu. Terkadang ibu membelikan saya baju di pasar dekat rumah, jika beliau menemukan baju yang menurut beliau bagus dan murah.

Saya sering digelayuti rasa bersalah

Bagi saya, memilih kebutuhan sandang untuk diri sendiri adalah hal yang paling sulit. Entah membeli baju, tas, atau sepatu, saya selalu membutuhkan seseorang untuk memberi pendapat. Apakah model ini cocok untuk saya? Apakah harganya tidak terlalu mahal?

Sebelum menikah, seluruh gaji yang saya peroleh, saya serahkan kepada ibu. Beliau akan memberikan sejumlah uang kepada saya untuk kebutuhan makan siang di kantor.

Jika saya butuh baju baru, beliau menjahit untuk saya. Jika saya butuh tas dan sepatu baru, beliau akan mengajak saya ke pasar. Di sana, saya dibelikan tas dan sepatu yang menurut beliau bagus dan murah.

Hingga kini, setelah ibu tiada, setiap kali hendak membeli baju, tas, atau sepatu, saya selalu minta ditemani suami. Meskipun ada baju, tas, atau sepatu yang tampak bagus di mata saya, jika suami mengatakan modelnya tidak cocok untuk saya atau harganya mahal, maka saya akan batalkan niat untuk membeli.

Karena permasalahan di atas, self-reward dalam bentuk barang tampaknya kurang cocok untuk saya. Rasa bersalah akan segera menggelayuti jika saya membeli sesuatu yang tidak disukai atau dipandang mahal oleh suami saya.

Cara saya memanjakan diri--di masa lalu

Ilustrasi membaca majalah (foto oleh lookstudio via freepik)
Ilustrasi membaca majalah (foto oleh lookstudio via freepik)

Saya bahagia sekali ketika puisi-puisi dan cerpen-cerpen yang saya kirim ke redaksi koran dan majalah, mulai dimuat. Setiap kali ada karya saya yang dimuat, saya akan mendapat koran atau majalah gratis. Bagi saya, koran atau majalah tersebut adalah self-reward setelah saya menghasilkan sebuah karya yang layak dipublikasikan.

Honor dari kegiatan menulis, tidak perlu saya setorkan kepada ibu karena menurut beliau nilainya tak seberapa. Honor tersebut saya tabung, lalu saya belikan novel atau bacaan lain yang saya sukai, setiap kali saya merasa perlu memanjakan diri.

Kegiatan menulis, baik menulis gratitude journal untuk konsumsi pribadi, maupun menulis puisi atau cerpen untuk dikirim ke redaksi koran atau majalah, bagi saya sudah merupakan self-reward.

Cara saya memanjakan diri -- kini

Pertama, menulis gratitude journal

Ilustrasi gratitude journal (foto oleh Gabrielle Henderson via Forbes) 
Ilustrasi gratitude journal (foto oleh Gabrielle Henderson via Forbes) 

Self-reward yang saya berikan kepada diri saya setiap hari adalah menyisihkan waktu setengah jam sebelum tidur untuk menulis gratitude journal. Menulis gratitude journal bagi saya adalah menghitung berkat. Saya percaya bahwa hal ini akan membantu saya lebih fokus pada aspek positif dari hidup, dan membangun ketahanan terhadap situasi negatif.

Kedua, mengunjungi Kompasiana

Self-reward lain yang dapat saya berikan setiap hari kepada diri saya adalah mengunjungi Kompasiana. Setahun terakhir ini, saat sebagian besar orang ber-WFH, saya masih ber-WFO. Saya masih berada di kantor dari jam delapan pagi hingga jam lima sore.

Peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan sebagai wanita karier, menyisakan tidak terlalu banyak waktu bagi saya untuk aktif bersosialisasi di Kompasiana. Namun demikian, saya berusaha mengunjungi Kompasiana hampir setiap hari.

Ketika hanya memiliki waktu sekitar 15 menit, saya hanya membaca satu atau dua Artikel Utama dan Artikel Terbaru. Saat memiliki waktu sekitar 1-2 jam, saya berusaha mengunjungi teman-teman yang saling follow dengan saya, terutama pasangan legendaris Tjiptadinata dan Roselina Effendi.

Lalu, kapan saya menulis untuk Kompasiana? Saya biasa menulis di akhir pekan, di sela-sela kegiatan mengurus rumah. Hanya ketika ada ide yang mendesak untuk dituangkan, saya menulis di hari kerja, pada malam hari.

Banyak manfaat yang saya dapatkan dari membaca artikel-artikel di Kompasiana. Mulai dari pelajaran hidup, pelajaran bahasa, kehidupan karier, beragam hal yang menambah wawasan, hingga ajakan untuk mentertawakan diri sendiri. Bagi saya, semua itu menyegarkan dan mencerahkan, membuat saya bersemangat untuk menjalani hari-hari.

Ketiga (masih rencana), pulang kampung

Saya masih harus bersabar menunggu pandemi berlalu untuk mendapatkan Self-reward ini. Sudah lama saya rindu pulang kampung. Saya ingin mengunjungi tante saya yang masih setia tinggal di kampung kami, mendengarkan ceritanya tentang Bagansiapiapi tempo dulu.

Saya ingin melakukan napak tilas masa kecil, menikmati kuliner khas Bagan, menjelajah situs-situs sejarah dan objek wisata, dan menulis kisah menarik dari kampung saya untuk disajikan kepada sidang pembaca. Sesederhana itu mimpi saya. Bagaimana dengan Anda?

 ***

Jakarta, 06 Maret 2021

Siska Dewi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun