Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibuku "Toksik" dan Mewariskan "Toksisitas" Kepadaku

25 November 2020   18:00 Diperbarui: 25 November 2020   18:03 1525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thinkstockphotos.com via Kompas.com

Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Idealnya, ibu (bersama ayah) menanamkan nilai, norma dan karakter positif bagi anak sebagai bekal di masa dewasa. Sayangnya, realita tidak selalu ideal.

Swanny (nama samaran), wanita setengah baya yang kini duduk di hadapan saya, adalah contohnya. Setelah berusia setengah abad dan memiliki anak perempuan yang sudah menikah, tetiba dia merasa almarhumah ibunya adalah seorang “ibu beracun” dan dirinya mewarisi karakter “ibu beracun” tersebut.

“Sejak kapan kamu menyadari diri sebagai ‘ibu beracun’ dan apa yang telah dilakukan almarhumah ibumu hingga kamu melabelinya sebagai ‘ibu beracun’ yang menghancurkan hidupmu?”

Swanny mengangkat muka. Matanya menerawang jauh dengan tatapan kosong. Yang dapat saya lakukan hanya sabar menunggu, memberinya kesempatan mengeluarkan isi hatinya.

Swanny menghela nafas panjang dan menjawab, “Sejak aku membaca artikel-artikel tentang ‘toxic mother’ dan mencocokkan ciri-cirinya dengan caraku mendidik anak. Alih-alih membantu anak-anak berkembang optimal, aku menghancurkan hidup mereka. Ibu macam apa aku ini? Kamu bisa merasakan betapa frustrasinya aku?”

Setelah melihat dia agak tenang, saya mengajaknya membahas ciri-ciri ‘ibu beracun’ dari sudut pandang yang sedikit berbeda.

                                                                   ***

Kekerasan Verbal dan Kekerasan Fisik

Swanny memilih menceritakan kepada saya momen kekerasan verbal dan kekerasan fisik yang terekam erat dalam memorinya.

“Siang itu, aku sedang membaca novel di kamar. Ada tugas bahasa Indonesia, membuat resensi novel. Tiba-tiba, ibuku masuk ke kamar dengan rotan di tangan. Direnggutnya novel dari tanganku.

Sampul novel itu bergambar sepasang remaja sedang bergandengan tangan. Aku lupa judulnya. Aku sangat ketakutan melihat wajahnya yang memerah. Benar saja, tak lama kemudian, beliau menangis histeris dan mulai mengayunkan rotan di tangannya ke arahku.

Aku berusaha menghindar namun kena juga beberapa sabetan. Akhirnya, aku meringkuk di pojok ranjang. Aku berusaha keras untuk tidak menangis karena ibu tidak suka melihat aku menangis.

Ibu terduduk di bibir ranjang. Aku lihat tangan kanannya yang memegang rotan terkulai lemas. Beliau menghapus air mata dengan tangan kiri, lalu berkata sambil terisak, tanpa memandang aku. ‘Masih SMP sudah curi-curi baca buku tentang cinta-cintaan. Mau jadi apa kamu nanti?’

Aku diam saja. Percuma menjelaskan bahwa novel itu kupinjam dari perpustakaan sekolah. Beliau tidak akan percaya jika aku katakan bahwa sesungguhnya aku sedang mengerjakan tugas dari guruku.

Ketika beliau mengultimatum aku untuk berhenti curi-curi kesempatan membaca buku yang menurutnya belum cocok untuk usiaku pada saat itu jika tidak ingin mendapat hukuman yang lebih berat lagi, aku memilih diam.

Aku hanya menjawab ‘ya’ ketika beliau memintaku tidak mengulang perbuatan membaca buku yang menurutnya akan merusak masa depanku. Dalam hati aku berjanji, jika kelak punya anak, aku tidak akan memukul mereka.”

Swanny mengakhiri ceritanya. Saya mempersilakan dia menyeruput kopi yang saya sediakan.

“Lalu, apakah kamu berhasil memenuhi janjimu? Kamu sudah hampir 30 tahun menjadi ibu. Pernahkah kamu memukul anak-anakmu?” tanya saya.

“Aku bersyukur, aku tidak pernah memukul mereka.” Swanny tersenyum kecil ketika berkata demikian. Dia tampak sudah sedikit lega.

“Kamu masih ingat, bagaimana perasaanmu ketika dimarahi dan dipukul ibumu? Apakah pada saat itu kamu merasa beliau sedang menyiramkan racun ke atas tanaman yang seharusnya diberi pupuk?”

“Dimarahi dan dipukuli ibu,” Swanny tertawa kecil. “Zaman SMP, aku belum kenal istilah ‘toxic mother’. Aku rasa hal itu biasa saja. Ibu ingin aku fokus belajar. Ibu merasa belum saatnya aku pacaran. Wajar sih beliau melarang aku membaca buku yang menurut beliau akan merusak masa depanku.”

“Ya, zaman kita SMP, rasanya biasa ya, orang tua menghukum anak dengan pukulan rotan. Juga memarahi kita dengan kata-kata pelemah semangat akibat ketidaktahuan mereka.” Saya berusaha mengafirmasi apa yang dikatakannya.

“Yang paling membekas sebetulnya bukan rasa sakit akibat pukulan rotan atau rasa marah karena sedang mengerjakan tugas sekolah tapi kok disalahpahami seolah-olah sangat ganjen dan ingin segera pacaran.

Yang paling membekas adalah rasa bersalah karena melakukan perbuatan yang membuat ibuku hancur dan menangis histeris. Sejak kecil, banyak insiden yang membuatku merasa bersalah.

Entah mengapa, jika ada masalah dengan ibu, aku selalu merasa bersalah. Aku dirundung penyesalan mengapa aku kurang berperilaku baik sehingga membuat ibu malu, mengapa aku kurang berusaha keras sehingga tidak mencapai prestasi yang membanggakan ibu.”

Saya ingat, saat kami masih kecil, Swanny sering dijadikan contoh anak baik. Ibu saya sering bercerita tentang Swanny yang manis, penurut dan pintar. Ibu mendorong saya bersahabat dengan Swanny, agar saya bisa tertular semua sifat baiknya.

“Saya rasa ibumu sangat bangga padamu. Beliau hanya tidak ingin menunjukkannya di hadapanmu. Bukankah itu juga tipikal orang tua zaman dulu? Mereka cenderung mendorong kita menjadi lebih baik dengan mengatakan bahwa kita belum cukup baik. Mereka juga cenderung tidak ingin memuji di hadapan kita karena takut kita besar kepala.”

Tuduhan yang Tidak Beralasan

Ilustrasi (sumber: pxfuel.com)
Ilustrasi (sumber: pxfuel.com)

“Jadi sebetulnya ibuku tidak setoksik yang aku kira ya.” suara Swanny terdengar sedikit mengambang. Dia memilih menceritakan satu lagi momen yang meninggalkan luka sangat dalam di hatinya.

“Aku kelas 2 SMA saat itu. Ada tugas piket menjaga toko koperasi sekolah. Suatu ketika, aku mendapat giliran jaga selama seminggu setelah pulang sekolah. Jadi, selama seminggu itu aku pulang sore.

Kemudian, aku menyadari bahwa aku sudah dua bulan tidak menstruasi. Aku ceritakan kepada ibu dengan harapan akan diajak berobat. Di luar dugaanku, ibuku marah besar.

‘Apa yang kamu lakukan selama seminggu pulang sore dua bulan yang lalu?’ Aku jawab bahwa aku menjaga koperasi sekolah. Ibuku bertanya dengan menyelidik, siapa saja yang bertugas bersamaku. Laki-laki atau perempuan.

Ya Tuhan, apa yang ada di pikirannya? Mengapa ibu bertanya tentang teman bertugas dan apakah teman itu laki-laki atau perempuan? Apakah ibu mengira aku hamil?

Sore itu juga aku diajak ke dokter kandungan dekat rumah. Dokter mengatakan ada ketidakseimbangan hormon dan aku diberi obat. Aku juga disarankan untuk melakukan aktivitas fisik secara teratur dan tidak stres.

Diagnosis dokter membuktikan bahwa tuduhan ibuku yang tidak beralasan itu salah. Namun, malam itu berlalu seperti tak terjadi apa-apa. Ibuku bersikap biasa saja seolah tidak menyadari luka yang digoreskannya di hatiku.”

“Bagaimana perasaanmu pada saat itu?” tanya saya.

“Aku marah dan sedih. Aku telah berusaha mengikuti semua kemauan ibu. Terkadang aku merasa seperti pretzel, diuleni, dipelintir, dipanggang … I have gone through such a long and painful process … aku bahkan seringkali merasa tidak bebas menjadi diriku, hanya untuk menyenangkan hati ibu.

Lalu, ketika menstruasiku tidak lancar akibat ketidakseimbangan hormon, ketika aku sakit dan membutuhkan dukungan … ibuku mengira aku melakukan perbuatan tak terpuji, beliau mengira aku hamil di luar nikah.

Setiap kali dimarahi dan dipukul ibu, aku berusaha memahami apa yang melatarbelakangi kemarahannya. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa semua itu dilakukannya karena cinta. Toh, aku bisa mengambil nilai-nilai positif seperti jangan salah langkah, harus kerja keras …

Tetapi setelah semua didikannya yang demikian keras, ibuku tetap tidak percaya bahwa aku memegang teguh semua nilai positif yang ditanamkannya. Aku kecewa, namun lagi-lagi aku memilih diam. Bersyukur saja, bahwa penyakitku terdeteksi dan aku mendapatkan pengobatan yang kuperlukan.”

Refleksi Tentang Cinta Ibu

People photo created by karlyukav - www.freepik.com
People photo created by karlyukav - www.freepik.com

Saya mengajak Swanny berefleksi bersama tentang cinta ibu. Kami sepakat bahwa semua ibu mencintai anak-anak mereka. Hanya saja, ada ibu yang karena sesuatu dan lain hal, tidak dapat mengekspresikan cintanya dengan cara yang tepat.

Satu hal yang menurut kami dapat meringankan kekecewaan terhadap ibu adalah merefleksikan pengorbanan ibu yang rela mengandung anak selama kurang lebih 9 bulan di dalam rahimnya serta mempertaruhkan nyawa untuk memberi kehidupan kepada anaknya. Pengorbanan ini adalah bukti cinta.

Hal lain adalah prinsip bahwa semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Sangat tidak adil melabeli orang tua yang keliru dalam mengekspresikan cinta, sebagai orang tua yang toksik atau tidak menyayangi anak.

“Rasanya aku harus mohon ampun pada ibu karena telah melakukan kebodohan besar dengan melabeli beliau "toxic mother" dan  mengklaim bahwa beliau mewariskan toksisitas kepadaku.

Refleksi membantu aku menyadari bahwa ‘toxic mother’ itu timbul dari persepsi kita. Ketika kita memandang cinta dan pengorbanan ibu serta niat baiknya, semua perlakuan yang dikatakan ‘toksik’ itu dapat dimaklumi.

Lalu, bagaimana jika anakmu menganggapmu toksik? Saya dan Swanny sepakat bahwa satu-satunya pilihan adalah tetap mencintai dan mendoakan mereka. Jika anak merasa perlu mengambil jarak, beri mereka kesempatan melakukannya. Itu adalah hak mereka yang harus dihargai.

“Biarlah ini menjadi resolusi akhir tahun bagiku untuk menjadi seorang yang lebih baik besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan tahun-tahun berikutnya. Aku mau belajar membuka hati dan membiarkan rahmat Tuhan mengalir di sana.

Aku mau belajar memaafkan dan tidak terlalu keras terhadap diri sendiri. Aku juga akan tetap mencintai dan mendoakan anak-anak. Kurasa, bukan hal yang penting bagaimana mereka memandang aku. 

Yang terpenting adalah mengingatan diri untuk sedapat mungkin tidak mengulang perilaku toksik, mengiringi langkah mereka dengan doa dan cinta agar mereka dengan jiwa bebas menemukan kebahagiaan mereka.”

Saya mengamini resolusi akhir tahun Swanny dan turut berdoa semoga sahabat karib saya ini juga dapat dengan jiwa bebas menemukan kebahagiaannya.

Jakarta, 25 November 2020.

Siska Dewi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun