Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibuku "Toksik" dan Mewariskan "Toksisitas" Kepadaku

25 November 2020   18:00 Diperbarui: 25 November 2020   18:03 1525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thinkstockphotos.com via Kompas.com

“Kamu masih ingat, bagaimana perasaanmu ketika dimarahi dan dipukul ibumu? Apakah pada saat itu kamu merasa beliau sedang menyiramkan racun ke atas tanaman yang seharusnya diberi pupuk?”

“Dimarahi dan dipukuli ibu,” Swanny tertawa kecil. “Zaman SMP, aku belum kenal istilah ‘toxic mother’. Aku rasa hal itu biasa saja. Ibu ingin aku fokus belajar. Ibu merasa belum saatnya aku pacaran. Wajar sih beliau melarang aku membaca buku yang menurut beliau akan merusak masa depanku.”

“Ya, zaman kita SMP, rasanya biasa ya, orang tua menghukum anak dengan pukulan rotan. Juga memarahi kita dengan kata-kata pelemah semangat akibat ketidaktahuan mereka.” Saya berusaha mengafirmasi apa yang dikatakannya.

“Yang paling membekas sebetulnya bukan rasa sakit akibat pukulan rotan atau rasa marah karena sedang mengerjakan tugas sekolah tapi kok disalahpahami seolah-olah sangat ganjen dan ingin segera pacaran.

Yang paling membekas adalah rasa bersalah karena melakukan perbuatan yang membuat ibuku hancur dan menangis histeris. Sejak kecil, banyak insiden yang membuatku merasa bersalah.

Entah mengapa, jika ada masalah dengan ibu, aku selalu merasa bersalah. Aku dirundung penyesalan mengapa aku kurang berperilaku baik sehingga membuat ibu malu, mengapa aku kurang berusaha keras sehingga tidak mencapai prestasi yang membanggakan ibu.”

Saya ingat, saat kami masih kecil, Swanny sering dijadikan contoh anak baik. Ibu saya sering bercerita tentang Swanny yang manis, penurut dan pintar. Ibu mendorong saya bersahabat dengan Swanny, agar saya bisa tertular semua sifat baiknya.

“Saya rasa ibumu sangat bangga padamu. Beliau hanya tidak ingin menunjukkannya di hadapanmu. Bukankah itu juga tipikal orang tua zaman dulu? Mereka cenderung mendorong kita menjadi lebih baik dengan mengatakan bahwa kita belum cukup baik. Mereka juga cenderung tidak ingin memuji di hadapan kita karena takut kita besar kepala.”

Tuduhan yang Tidak Beralasan

Ilustrasi (sumber: pxfuel.com)
Ilustrasi (sumber: pxfuel.com)

“Jadi sebetulnya ibuku tidak setoksik yang aku kira ya.” suara Swanny terdengar sedikit mengambang. Dia memilih menceritakan satu lagi momen yang meninggalkan luka sangat dalam di hatinya.

“Aku kelas 2 SMA saat itu. Ada tugas piket menjaga toko koperasi sekolah. Suatu ketika, aku mendapat giliran jaga selama seminggu setelah pulang sekolah. Jadi, selama seminggu itu aku pulang sore.

Kemudian, aku menyadari bahwa aku sudah dua bulan tidak menstruasi. Aku ceritakan kepada ibu dengan harapan akan diajak berobat. Di luar dugaanku, ibuku marah besar.

‘Apa yang kamu lakukan selama seminggu pulang sore dua bulan yang lalu?’ Aku jawab bahwa aku menjaga koperasi sekolah. Ibuku bertanya dengan menyelidik, siapa saja yang bertugas bersamaku. Laki-laki atau perempuan.

Ya Tuhan, apa yang ada di pikirannya? Mengapa ibu bertanya tentang teman bertugas dan apakah teman itu laki-laki atau perempuan? Apakah ibu mengira aku hamil?

Sore itu juga aku diajak ke dokter kandungan dekat rumah. Dokter mengatakan ada ketidakseimbangan hormon dan aku diberi obat. Aku juga disarankan untuk melakukan aktivitas fisik secara teratur dan tidak stres.

Diagnosis dokter membuktikan bahwa tuduhan ibuku yang tidak beralasan itu salah. Namun, malam itu berlalu seperti tak terjadi apa-apa. Ibuku bersikap biasa saja seolah tidak menyadari luka yang digoreskannya di hatiku.”

“Bagaimana perasaanmu pada saat itu?” tanya saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun