Oleh Veeramalla Anjaiah
Pakistan, negara miskin yang didominasi oleh militer di Asia Selatan, menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam sejarahnya di tahun 2023 dan tidak akan mengalami perbaikan apa pun pada tahun 2024, demikian yang dilaporkan surat kabar Daily Sun.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini menerbitkan laporan tentang "Situasi dan Prospek Ekonomi Dunia 2024" yang memperkirakan bahwa beberapa tantangan termasuk tekanan inflasi, depresiasi mata uang dan tingginya tingkat utang negara juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Pakistan tahun ini.
Pakistan merupakan salah satu negara yang mata uangnya terdepresiasi lebih dari 20 persen. Pada tahun 2023, rata-rata tingkat inflasi di Pakistan melampaui 30 persen dan diperkirakan akan tetap tinggi di tahun 2024, mendekati 20 persen, menurut laporan PBB.
Bangladesh, yang memisahkan diri dari Pakistan pada tahun 1971, berhasil menjaga tingkat inflasi pada satu digit.
Perekonomian Pakistan menghadapi kelumpuhan kebijakan dan negara ini terlilit utang luar negeri yang sangat besar, khususnya pinjaman yang berada di bawah Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China.
Kini, Pakistan terbebani dengan pembayaran kembali pinjaman luar negeri senilai AS$27,47 miliar pada bulan November 2024, menurut Bank Negara Pakistan (SBP).
Ahtasam Ahmad, Analis Sektor di Profit Pakistan Today, mengatakan bahwa pihak eksternal menghadirkan situasi yang menantang bahkan ketika ia menyebut pinjaman China sebagai hambatan besar bagi penyelesaian keringanan utang.
"Pemerintah menghadapi tugas berat dalam mengelola utang yang tidak berkelanjutan, ditambah dengan rendahnya cadangan SBP, sehingga sulit untuk tetap bertahan secara finansial," lapor Daily Sun yang mengutip pernyataan Ahtasam.
China menyumbang sekitar 30 persen utang luar negeri Pakistan.