Ternyata, menjadi guru les tidak hanya tentang berbagi materi pelajaran. Ada hal lain yang jauh lebih dalam: berbagi kisah dari hati. Di ruang kecil bimbel tempatku mengajar, aku tidak hanya mendengar soal rumus dan hafalan, tetapi juga cerita-cerita rapuh dari siswa-siswaku --- tentang harapan, luka, bahkan ketakutan mereka terhadap masa depan.
Hai, perkenalkan aku Fransisca Anita. Aku hanyalah seorang guru bimbel lepas harian yang bekerja ketika ada jadwal. Namun tanpa pernah kuduga, sepanjang perjalanan ini aku menyaksikan banyak kisah yang justru mengajarkanku arti menjadi manusia. Kisah-kisah yang menginspirasi, sekaligus menguras hati.
Banyak dari mereka datang dengan wajah cemas, menyimpan luka yang tak selalu tampak. Sebagian bingung menentukan jurusan kuliah, bukan karena tak punya mimpi, melainkan karena suara mereka tenggelam oleh ambisi orang tua yang masih ingin menentukan jalan. Aku tak menyalahkan siapa pun. Aku pun seorang ibu --- aku tahu betul setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Hanya saja, terkadang tanpa sadar, ambisi kita yang belum selesai ikut terbawa, dan akhirnya kita titipkan pada anak-anak kita.
Aku masih ingat satu kisah yang begitu membekas. Sebut saja namanya Cherry.
Cherry adalah siswi yang baik. Hobinya sederhana, bermain Roblox. Namun di balik senyumnya, ada luka terpendam. Ia tengah berada di pusaran masalah keluarga: perceraian orang tuanya, ditambah tekanan dari keluarga besar yang menuntut ia masuk jurusan tertentu.
Sementara itu, hampir semua temannya sudah diterima di kampus impian masing-masing. Cherry masih bergelut dengan dilema antara impiannya sendiri dan tuntutan orang-orang di sekelilingnya. Semakin hari, aku melihat keresahannya makin dalam. Ia datang belajar dengan mata kosong, seolah membawa beban yang tak semestinya ia tanggung di usianya.
Hingga suatu hari, Cherry tak pernah lagi muncul di kelas. Aku sempat menanyakan kabarnya pada teman-temannya, bahkan bertanya ke guru lain. Katanya, Cherry sudah berhenti datang karena merasa dirinya berbeda. "Hanya aku yang belum diterima," begitu kira-kira pikirnya.
Aku khawatir. Aku sedih. Tapi yang lebih dari itu, aku belajar satu hal dari kisah Cherry: kebahagiaan seorang anak jauh lebih berharga daripada keberhasilan memenuhi ambisi orang tuanya.
Pengalaman bersama Cherry semakin meyakinkan aku bahwa pendidikan bukan sekadar angka dan prestasi, melainkan ruang aman bagi anak-anak untuk menemukan dirinya. Inilah yang kuanggap sebagai bagian dari Aspirasi Pendidikan Bermutu Untuk Semua --- pendidikan yang tidak mengekang, tidak menghakimi, melainkan mendampingi setiap anak sesuai jalannya.
Pesan yang ingin kusampaikan adalah, sebagai orang tua, kita memang pernah muda, pernah bermimpi, dan ada cita-cita yang mungkin belum sempat terwujud. Namun, tidak seharusnya kita meletakkan semua ambisi itu ke pundak anak dengan harapan mereka bisa "meneruskan" atau bahkan "menggantikan" impian kita. Karena setiap anak memiliki kisah, jalan, dan cahaya mereka sendiri.
Pada akhirnya, aku belajar bahwa mengajar bukan hanya tentang mengantarkan siswa menuju pintu kampus, melainkan juga menemani mereka menemukan dirinya sendiri.
"Anak-anak bukanlah wadah kosong untuk kita isi dengan ambisi yang tersisa. Mereka adalah jiwa merdeka, yang butuh ruang untuk tumbuh dan memilih jalannya sendiri."
Semoga setiap langkah kecil yang kita lakukan, baik sebagai guru maupun orang tua, mampu mengantarkan mereka menuju masa depan yang mereka pilih sendiri --- sebuah jalan yang sejalan dengan cita-cita Aspirasi Pendidikan Bermutu Untuk Semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI