Tidak bisa dipungkiri, Indonesia adalah salah satu negara besar dan beragam yang pernah ada di dunia. Sungguh bukan perkara mudah untuk mengelola negara seperti Indonesia yang punya keberagaman yang banyak, persoalan yang sangat kompleks dan rentang geografis yang sangat luas, terlebih banyak kota penting yang terpisah dengan lautan.Â
Dengan tantangan semacam itu, maka memang tidak mudah untuk membuat Indonesia selalu tenang. Masyarakatnya yang berbeda itu selalu memiliki bermacam pendapat dan pemikiran yang sering berbeda satu sama lain. Terlebih nyaris duapuluh tahun negara ini mengecap masa reformasi dimana demokrasi cenderung lebih baik dibanding sebelumnya.
Sehingga kita bisa saksikan betapa riuhnya jika beberapa kalangan yang punya "pengikut di media sosial" alias follower. Kita bisa saksikan hal itu selama satu dekade ini dimana setiap ada peristiwa besar, semisal kebijakan menaikkan harga komoditi tertentu atau pengesahan undang-undang tertentu. Kita bisa melihat demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa soal UU KPK.Â
Selama kita bisa melihat bagaimana mereka punya pendapat berbeda dan bisa membawa pengikut pendapat (opini itu) "bertemupur" tidak saja di depan gedung DPR MPR tetapi juga di media sosial. Opini berbeda itu bertahan sampai beberapa waktu lamanya. Pemerintah sampai merasa perlu membawa beberapa orang pakar ke istana untuk menyelesaikan polemik itu.Â
Singkat kata, untuk mendapat satu kesepakatan  relatif tidak mudah dan penuh tantangan. Perlu waktu dan beberapa tahapan untuk bisa mendapatkan kata sepakat itu. Tidak semua opini yang berbeda itu diselesaikan dengan voting, namun sebagian besar mampu diselesaikan dengan musyawarah mufakat yang merupakan ciri khas Indonesia.Â
Baru-baru ini polemik penting kembali muncul saat DPR mensahkan UU Ibukota Negara di kalimanta yang dinamakan Nusantara. Hanya satu partai saja yang menolak pengesahan UU IKN ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera(PKS). Banyak yang mengatakan bahwa penolakan PKS ini karena sikap ideologis.Â
Di luar DPR juga terjadi penolakan atas UU ini muncul dari kelompok konservatif radikal yang menolak dengan alasan pemindahan ibukota negara ini karena membawa kepentingan kelompok tertentu. Sampai membawa opini bahwa nama Nusantara tidak cocok dengan ibukota baru itu karena terlalu Jawasentris.Â
Sekali lagi saya tegaskan bahwa mengelola perbedaan termasuk perbedaan pendapat di Indonesia amat tidak mudah. Ini yang juga diakui oleh mantan perdana menteri malaysia Mahathir Muhammad. Karena banyak negara yang gagal mengelola negara meski negara itu punya sedikit perbedaan. Beberapa negara mengalami itu.Â
Karena itu, hangan kita terjebak pada perbedaan pendapat /opini yang menyeret pada keterbelahan bangsa. Ingatlah bahwa pemimpin negara tak ingin negaranya terpecah belah hanya karena narasi-narasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Semangat Nusantara ingin mengembalikan mentalitas bangsa ini sebagai bangsa yang unggul dan jaya yang dibangun oleh persatuan dalam keragaman
Â