Mohon tunggu...
Anis Nida Aufana
Anis Nida Aufana Mohon Tunggu... 24107030006.mahasiswa uin jogja

Mahasiswa, penikmat seni dan novel

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pernah Hampir Mati, tapi Karena Teriakan Kakak, Aku Selamat

13 Juni 2025   08:58 Diperbarui: 13 Juni 2025   08:58 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kadang, ada pengalaman masa kecil yang begitu samar, tapi jejak rasanya masih terasa jelas sampai sekarang. Salah satunya adalah kejadian yang hampir bikin aku kehilangan hidupku sendiri. Saat itu aku baru berumur 4 tahun, belum mengerti apa-apa, cuma ingin main air setelah hujan. Tapi dari main yang kelihatannya biasa saja, ternyata jadi momen yang bikin aku nyaris pergi selamanya. Dan dari kejadian itu juga, aku akhirnya tahu... ternyata cinta kakak itu nggak selalu ditunjukin lewat kata, tapi lewat teriakan panik yang nyariin adiknya di tengah derasnya arus kali.

Aku pernah hampir mati. Hanyut. Di kali. Waktu umurku masih 4 tahun.

Kejadiannya di kampung halaman ibuku, di Jawa Barat. Kami sedang mudik, dan sore itu aku main bareng dua sepupuku yang lebih tua. Kami main becak di gang depan rumah nenek. Kebetulan baru hujan, jadi air kali naik sampai ke tangga yang biasa disebut "tanggul"---tempat kami biasanya main air.

Becak kami kayuh ke arah kali. Kami turun ke anak tangga paling bawah, mencuci kaki. Aku lupa, waktu itu cuma main air atau sekadar cuci kaki. Tapi yang pasti, dua sepupuku sudah naik ke atas dan mengajakku pulang. Aku---yang keras kepala---menolak. Aku bilang, "Nanti aku nyusul."

Dan... yap. Aku ditinggal.

Aku turun satu anak tangga lagi. Dan dari situ, semuanya seperti mimpi buruk yang hidup.

Aku terpeleset. Tubuh kecilku langsung terseret arus deras. Aku mencoba meraih apapun yang bisa ditangkap, tapi yang ada hanya sampah-sampah kali yang hanyut bersamaku---pampers bekas, botol minuman, plastik.

Aku tidak bisa berenang. Tidak bisa menahan napas. Air masuk ke mulut, ke hidung, ke paru-paru. Aku tenggelam. Aku ingat sempat pingsan, lalu sadar, lalu pingsan lagi. Yang terakhir aku lihat sebelum benar-benar gelap, adalah siluet seseorang yang melompat ke kali dan suara orang-orang berteriak panik di pinggir.

Lalu... gelap.

Ketika sadar, aku sudah di pangkuan ibuku. Terbatuk-batuk karena menelan air. Setelah itu aku tak ingat, mungkin aku tidur, mungkin aku dibawa ke dokter. Tapi yang pasti, aku hidup. Aku masih hidup.

Ketika aku sudah agak besar, ibuku cerita kalau setelah kejadian itu, fisikku jadi lemah. Aku jadi mudah sakit dan sempat terkena penyakit flek paru-paru yang membuat aku harus berobat secara rutin ke rumah sakit. Syukurnya, sekarang penyakit itu hilang, aku benar-benar sehat. 

Keluargaku menceritakan kembali kejadian itu. Ternyata, kakak laki-lakiku---yang waktu itu berumur 11 tahun---melihat aku hanyut. Dia panik. Dia tidak bisa berenang. Tapi dia teriak sekuat-kuatnya, minta tolong ke orang-orang. Seperti di sinetron, katanya. Orang-orang berkumpul di pinggir kali. Ada orang dewasa yang bisa berenang, dan dia yang akhirnya menyelamatkanku. Mungkin itu siluet yang kulihat terakhir sebelum aku pingsan.

Dari semua memori samar itu, yang paling jelas adalah tubuhku yang terbawa arus, mata yang perih, napas yang sesak, dan suara-suara dari pinggir.

Dan juga---teriakan kakakku.

Aku dan kakakku bukan adik-kakak harmonis yang peluk-pelukan atau tukar cerita tiap malam. Bahkan, kami hampir tak pernah akur sejak kecil, dan saat beranjak dewasa hingga kini, dia masih sama, cuek dan menyebalkan. Tapi sejak diceritakan kisah itu, aku sadar... kalau sebenarnya dia sayang aku. Teriakannya saat itu bukan hanya karena panik, tapi karena takut kehilangan aku.

Tapi tiap kutanya tentang itu, dia pasti selalu menghindar untuk membahasnya lagi.

Katanya, setelah aku dibawa pulang oleh ibuku, kakakku disuruh mandi oleh ibu---mungkin karena dia basah, atau mungkin karena ibu marah. Tapi sepupuku cerita, kakakku menangis di kamar mandi. Entah karena marah, takut, atau panik. Tapi dia menangis sejak dari pinggir kali, sampai pulang.

Kadang aku berpikir, seandainya tidak ada yang melihatku, seandainya tidak ada yang lompat, seandainya kakakku tidak berteriak... mungkin aku tidak bisa menulis cerita ini sekarang.

Dan mungkin, orang dewasa yang menyelamatkanku itu tidak tahu betapa besar jasanya. Tapi bagiku, dia adalah perantara Tuhan. Malaikat yang datang lewat cara paling sederhana: lompat ke kali, angkat aku, hidupkan aku lagi.

Cerita ini mungkin terlihat seperti kisah nyaris mati. Tapi bagiku, ini juga kisah tentang keluarga, tentang kakak yang diam-diam peduli, dan tentang bagaimana hidup bisa bertahan... hanya karena satu teriakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun