Mohon tunggu...
Anis Nida Aufana
Anis Nida Aufana Mohon Tunggu... 24107030006.mahasiswa uin jogja

Mahasiswa, penikmat seni dan novel

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pernah Hampir Mati, tapi Karena Teriakan Kakak, Aku Selamat

13 Juni 2025   08:58 Diperbarui: 13 Juni 2025   08:58 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika aku sudah agak besar, ibuku cerita kalau setelah kejadian itu, fisikku jadi lemah. Aku jadi mudah sakit dan sempat terkena penyakit flek paru-paru yang membuat aku harus berobat secara rutin ke rumah sakit. Syukurnya, sekarang penyakit itu hilang, aku benar-benar sehat. 

Keluargaku menceritakan kembali kejadian itu. Ternyata, kakak laki-lakiku---yang waktu itu berumur 11 tahun---melihat aku hanyut. Dia panik. Dia tidak bisa berenang. Tapi dia teriak sekuat-kuatnya, minta tolong ke orang-orang. Seperti di sinetron, katanya. Orang-orang berkumpul di pinggir kali. Ada orang dewasa yang bisa berenang, dan dia yang akhirnya menyelamatkanku. Mungkin itu siluet yang kulihat terakhir sebelum aku pingsan.

Dari semua memori samar itu, yang paling jelas adalah tubuhku yang terbawa arus, mata yang perih, napas yang sesak, dan suara-suara dari pinggir.

Dan juga---teriakan kakakku.

Aku dan kakakku bukan adik-kakak harmonis yang peluk-pelukan atau tukar cerita tiap malam. Bahkan, kami hampir tak pernah akur sejak kecil, dan saat beranjak dewasa hingga kini, dia masih sama, cuek dan menyebalkan. Tapi sejak diceritakan kisah itu, aku sadar... kalau sebenarnya dia sayang aku. Teriakannya saat itu bukan hanya karena panik, tapi karena takut kehilangan aku.

Tapi tiap kutanya tentang itu, dia pasti selalu menghindar untuk membahasnya lagi.

Katanya, setelah aku dibawa pulang oleh ibuku, kakakku disuruh mandi oleh ibu---mungkin karena dia basah, atau mungkin karena ibu marah. Tapi sepupuku cerita, kakakku menangis di kamar mandi. Entah karena marah, takut, atau panik. Tapi dia menangis sejak dari pinggir kali, sampai pulang.

Kadang aku berpikir, seandainya tidak ada yang melihatku, seandainya tidak ada yang lompat, seandainya kakakku tidak berteriak... mungkin aku tidak bisa menulis cerita ini sekarang.

Dan mungkin, orang dewasa yang menyelamatkanku itu tidak tahu betapa besar jasanya. Tapi bagiku, dia adalah perantara Tuhan. Malaikat yang datang lewat cara paling sederhana: lompat ke kali, angkat aku, hidupkan aku lagi.

Cerita ini mungkin terlihat seperti kisah nyaris mati. Tapi bagiku, ini juga kisah tentang keluarga, tentang kakak yang diam-diam peduli, dan tentang bagaimana hidup bisa bertahan... hanya karena satu teriakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun