Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nana

1 Mei 2019   04:57 Diperbarui: 1 Mei 2019   05:14 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Pixabay.com

"Kamu selalu saja menyalahkan ayah. Hanya karena sedikit keburukan ayah lantas kamu tak mau mengakui ayah sebagai ayahmu, heh?" balas Pak Nasir mulai naik darah.

"Sedikit? Ayah bilang sedikit? Ayah pikir hati kami terbuat dari batu?" Kali ini Nana pun mulai emosi. Dia berdiri kemudian berlari pergi masuk ke kamarnya. Nana selalu tak ingin pertengkaran menjadi besar. Itu lah sebabnya dia selalu pergi setiap kali ayahnya pulang. Dia tak setegar ibunya, dia tak sesabar ibunya yang bisa dengan mudah menerima perilaku buruk ayahnya. Dia tidak sama. Dia keras. Mungkin sekeras watak ayahnya. Andai tak ada ibu di hadapannya. Mungkin dia rela berlama-lama berdebat dengan ayahnya. Tapi dia selalu mengkhawatirkan kesehatan ibunya. Selalu.

                                                 ***

Nana menatap beberapa pengamen yang sedang berbincang di sudut jalan dari balik kaca jendela mobilnya. Atau mungkin mereka sedang bercanda dan melepas lelah, entah lah. Ada rasa iri menggerogoti hatinya. Mereka tampak terlihat bahagia. Senyum mereka merekah dengan indah.
Keadaan tak membuat mereka merasa lelah. Kebersamaan, ya, kebersamaan adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Bukan harta. Nana tak lagi mendapatkan itu semua. Sejak saat kejadian menyakitkan itu, Nana kehilangan semuanya. Keceriaannya, senyumnya, kawan-kawannya, semuanya. Semua seolah pergi. Bukan mereka yang pergi tapi Nana sendiri yang menghindar. Dia malu.

Sesampainya di depan rumah, Nana tak bergegas turun dari mobilnya. Ia membayangkan kehangatan masa lalu di dalam rumah itu. Dia merindukannya. Tapi mustahil semua seperti sedia kala. Semua sudah penuh dengan luka. Luka yang masih tetap menganga hingga saat ini.

"Kamu enggak turun?" suara seseorang membuyarkan lamunannya. Dilihatnya ayahnya yang kini sudah berdiri di balik kaca jendela mobilnya yang sejak tadi memang sudah terbuka.

Nana keluar kemudian berlari kecil hendak memasuki rumah tapi suara ayahnya dengan cepat mencegat langkahnya.

"Melihat ayah sendiri seperti melihat hantu kamu ya," ucap Pak Nasir.

"Sampai kapan kamu akan terus mengabaikan ayah seperti ini, Nana?" lanjut Pak Nasir saat melihat Nana sudah memandang ke arahnya.

"Sampai ayah mau meninggalkan istri-istri simpanan ayah dan enggak lagi menyakiti perasaan ibu!" balas Nana emosi. Matanya memerah. Perasaan marah, benci dan tangis membaur menjadi satu.

Plak!!!
Nana jatuh terjerembab. Tamparan ayahnya terlalu keras. Bibirnya berdarah. Nana berusaha bangkit sambil menahan perih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun