Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah untuk Maria

1 April 2019   08:38 Diperbarui: 1 April 2019   09:09 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Pixabay

Ardi merangkulku. Mengelus punggung. Setelahnya, aku berusaha mengokohkan diri untuk menyusuri setiap ruangan yang ada.

Aku mencari sebuah kamar. Kunaiki tangga, menyusuri ruangan baru setelah tak berhasil menemukan sebuah kamar pribadi di lantai dasar.
Di setiap sisinya, terpasang beberapa poto lamaku. Ardi tak berhenti merangkul dan menguatkanku yang kalut oleh suasana di rumah besar ini. Rumah ini penuh dengan kenangan yang sengaja wanita itu pajang.

Hingga akhirnya aku menemukan sebuah kamar. Sebuah lukisan wanita bertubuh sensual terpasang di dindingnya. Itu dia si wanita keparat. Aku melepaskan tanganku dari lengan Ardi, mendekati lukisan, merabanya penuh emosi.

"Kau benar-benar wanita keparat!" ucapku meninju gambar yang terpampang di hadapan.

Aku merasakan Ardi memelukku dari belakang. Menarikku, meminta untuk tak hanya fokus dengan lukisan itu.

Aku mengobrak-abrik isi kamar. Berharap ada suatu pesan yang dia tinggalkan untukku. Tapi nihil. Aku tak menemukan apa pun, kecuali barang-barang pribadi miliknya.


Dan, tatapku terhenti ketika kudapati sebuah laptop di bawah bantal. Aku membukanya perlahan. Membuka file yang ada. Ada banyak, banyak sekali curahan isi wanita keparat itu di dalamnya. Aku kemudian memutuskan duduk di sebuah kursi di samping ranjang, meletakkan laptop di meja dan fokus membaca yang tertulis di sana.

Setiap kata, setiap kalimat, setiap paragraf membuat air mataku tak berhenti mengalir. Wanita keparat itu bodoh sekali. Mengapa hanya berpikir tentang kesuksesanku? Rela bertahun-tahun memendam rindu yang tak mampu ia tuntaskan.

Aku memilih mengabaikanmu agar tak merasakan perihnya sayatan rindu yang semakin hari semakin melukai hatiku.

Sebuah kalimat bodoh yang pernah kubaca. Apa dia pikir aku pun tidak tersiksa? Bukankah akan lebih baik jika kita saling menuntaskan rindu? Tapi mengapa? Mengapa ia justru memilih memporakporandakan hatinya, juga hatiku hingga senahas ini?

"Wanita itu, dia benar-benar sudah gila," ucapku memukuli dada.

Tangisku semakin menjadi. Aku tak kuat lagi membendungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun