Mohon tunggu...
Anis Susiati
Anis Susiati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa administrasi publik yang memiliki semangat dalam mengeksplorasi dunia melalui kata-kata. Berani berbagi pandangan, pengalaman, dan inspirasi melalui tulisan dengan refleksi pribadi. Menyuarakan gagasan-gagasan positif dan membangun, serta selalu terbuka untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan pembaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menilik Implikasi Kebijakan Perubahan Batas Minimal Usia Capres-Cawapres pada Pemilihan Umum 2024: Perspektif Komunikasi dan Advokasi

17 April 2024   16:00 Diperbarui: 23 April 2024   12:47 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana sidang di Mahkamah Konstitusi terkait gugatan persyaratan batas minimal usia capres-cawapres (sumber foto: Routers/W Kurniawan)

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah tonggak demokrasi yang penting bagi suatu negara dan sebagai sarana penyaluran hak asasi warga negara yang prinsipil. (Asshiddiqie, 2006). Pemilu 2024 di Indonesia diwarnai dengan suatu momen  yaitu dimana adanya perubahan kebijakan terkait batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden (Capres-Cawapres). 

Perubahan ini bukan sekedar langkah administratif saja, akan tetapi juga merupakan sebuah keputusan yang memiliki implikasi mendalam dalam dinamika politik, komunikasi, dan advokasi di Indonesia, oleh karena itu menelusuri implikasi yang muncul dari perubahan kebijakan batas minimal usia Capres-cawapres pada pemilu 2024 menjadi sangat menarik. Pemahaman yang mendalam mengenai perubahan tersebut menjadi krusial dalam memahami kompleksitas proses demokrasi dan peran komunikasi serta advokasi dalam menjaga keseimbangan kekuasaan yang sehat dalam konteks Pemilu 2024 di Indonesia, khususnya pada kalangan mahasiswa dan peran media.

Adanya perubahan kebijakan batas minimal usia capres-cawapres menjadikan mahasiswa lebih aktif dalam memperjuangkan aspirasi mereka, mengingat mereka merupakan bagian penting dari daftar pemilih yang potensial. Dengan adanya perubahan ini tentunya mendorong para mahasiswa untuk berpatisipasi aktif dalam diskusi publik, kampanye,  dan kegiatan advokasi. 

Salah satu contoh aksi mahasiswa dalam merespon kebijakan perubahan tersebut yang dilansir dalam artikel online adalah demonstrasi yang dilakukan oleh aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi, yang mana isi dari demonstrasi tersebut menolak adanya gugatan terhadap perubahan batas usia minimal Capres-Cawapres pada 40 tahun, seperti tercantum pada Pasal 169 q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Mereka mengangap bahwa permintaan tersebut sangat dipolitisasi, bertujuan hanya untuk menguntungkan kelompok tertentu atau kepentingan partai politik tertentu. 

Terlebih lagi perubahan kebijkaan ini dilakukan mendekati Pemilu 2024 (Sujoni, 2023). Bukan hanya sebatas itu, seorang mahasiswa  dari Universitas Surakarta juga mengajukan gugatan pada Mahkamah Konstutusi, dia mengusulkan terkait batas usia minimal masih tetap 40 tahun tetapi harus mempunyai pengalaman sebagai kepala daerah, baik bupati, wali kota atau gubernur (Antara, 2023). 

Berdasarkan aksi gugatan dilakukan oleh mahasiswa tersebut dapat kita pahami ternyata perubahan kebijakan batas minimal usia capres-cawapares mampu menimbulkan polarisasi di antara mahasiswa yang mendukung dan menentang kebijakan tersebut, sehingga timbul diskusi aktif, perdebatan yang intens, dan perbedaan pendapat.

Dari segi media, perubahan kebijakan batas minimal usia capres-cawapres pada pemilu 2024 menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk diliput, menghasilkan konten berita yang beraneka ragam serta mendukung komunikasi public jangkauannya jauh lebih di semua kalangan masyarakat, sehingga peran media menjadi sangat krusial dalam membentuk opini publik dan memberikan informasi yang akurat tentang perubahan kebijakan tersebut.

Secara umum, pemanfaatan teknologi digital  erat kaitannya dengan penggunaan media baru yang dapat membantu mewujudkan perubahan, pergerakan, bahkan perlawanan. Media-media tersebut merupakan media sosial yang biasa digunakan oleh masyarakat luas, seperti Instagram, Twitter, dan Facebook. Akselerasi teknologi informasi, termasuk media sosial, telah memberikan banyak peluang bagi masyarakat untuk mengekspresikan sikapnya, baik dalam bentuk gerakan sosial baru maupun memantau tindakan para politisi.

Di era perkembangan zaman dan teknologi ini, masyarakat juga telah mengembangkan  konsep baru paradigma tindakan kolektif. Paradigma ini membentuk gerakan sosial yang menggunakan infrastruktur digital, atau aktivisme digital. Perbedaan yang paling mendasar dalam memahami jenis aktivisme ini dengan jenis gerakan sosial dan aktivisme normal pada zaman klasik adalah bahwa aktivisme digital  menggunakan infrastruktur digital berupa jaringan, perangkat digital, dan aplikasi untuk mendukung kampanye di masyarakat.

Salah satu upaya advokasi  media sosial adalah dengan melacak penggunaan tanda pagar (hashtag) yang meningkat secara signifikan di masyarakat. Aktivisme digital melalui hashtag juga berperan penting sebagai media propaganda dalam menyikapi berbagai permasalahan di media sosial. Secara umum hashtag banyak digunakan untuk menyimpan dan mengambil informasi atau berita tertentu melalui pencarian "hashtag". Misalnya, cari informasi bertajuk #MosiTidakPercaya di postingan media sosial. Hashtag ini memungkinkan media sosial memberikan informasi berupa teks, foto, atau video pendek dan mengarahkan ke link sumber asli informasi yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun