Mohon tunggu...
Anisatul Mustafidah ali
Anisatul Mustafidah ali Mohon Tunggu... Lainnya - Diciptakan hanya untuk menikmati kopi dan puisi.

Sedang Belajar Percaya Diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selurus Jarum Jam di Jantung Angka 12 Malam

30 September 2020   04:47 Diperbarui: 5 Oktober 2020   16:24 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Depression Abstrak - vidart04

Bagaimana jika yang pergi adalah seseorang yang mencemaskan kalian setiap malam?

Apakah kehilangan masih menjadi hal yang 'tidak apa-apa' bagi kalian?

Juni, 2017.

Pertengahan Musim Kemarau.

Aku sudah menerima konsekuensi dari memilih mencintaimu, Ar. Aku menerima segala keputusan yang kau ambil untuk tidak pernah peduli lagi pada segala tentangku.

Maret, 2020.

Awal Pandemi Dan Libur Panjang.

Setiap malam, kepalaku selalu berisi kenangan-kenangan yang enggan beranjak sampai pagi kembali bertandang.

Setiap kali badanku kembali merapuh, aku selalu melihat kau berada di sampingku. Tidak peduli itu halusinasi, melihat bayangmu masih amat peduli membuat mataku selalu ingin terpejam agar bayangmu tidak pergi.

Ibuku bilang aku tidur seharian. Tidak makan, tidak minum, tidak mau berobat.

Padahal setiap pagi kau menyuapiku, kemudian bertanya aku hendak makan apa nanti siang. Padahal setiap malam aku selalu sibuk menghitung kapsul di tanganmu, mengira-ngira; kapsul manakah yang berhasil membuatku mengatupkan mata untuk jangka waktu yang lama?

Aku tidak tahu apa yang terjadi di setiap hariku. Yang kutahu kau ada disini bersamaku ;membangunkanku pagi pagi sekali, menghidupkan kipas angin di siang hari dan memelukku di malam hari.

Kau bilang aku harus rajin minum obat, makan teratur, dan minum susu agar cepat sembuh. Padahal aku tidak merasakan sakit apa-apa selama kau masih duduk disampingku dan mendengarkan lagu dari seutas kabel headset butut sembari memainkan rambutku.

Aku tidak takut pada dunia nyata, Ar.

Aku hanya letih.

Menjalani hari tanpamu cukup melelahkan meskipun Ibu selalu memperlakukanku seperti bocah ingusan.

"Bagimu lebih penting aku dari ibumu?"

Hehe.. aku tahu kau akan bertanya demikian. Kau tentu tahu siapa Ibu bagiku, bukan? Beliau wanita renta yang selalu menjadi lentera di setiap tapak yang kulalui. Mana mungkin aku meninggalkan lentera dalam pekatnya kehidupan?

Bahkan sudah berkali-kali kukatakan: "Ibu lentera dan kau tongkat. Temani aku sampai Tuhan menjemputku di halte terakhir."

***
Aku menyayangimu. Tapi aku lebih mencintai Ibu. Jadi, biarkan aku berbahagia bersamamu barangwaktu sehari, sebelum aku kembali terjaga untuk memulai bakti pada Ibu, dan menerima apapun yang tertulis nyata di buku takdir, entah luka atau tawa. Pun tentangmu ;tentang kebersamaan kita yang hanyalah bunga tidur.

Tetaplah berbahagia. Seperti bahagiamu dulu ketika tahu bahwa bersamamu aku selalu merasa baik-baik saja.

Terimakasih, sudah pernah peduli dan bersedia menemani.

Soengennep, 30 September 2020

Ditulis oleh:

Anisatul Mustafidah Ali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun