Keadilan Organisasi dan Perilaku Kewargaan: Kunci Kinerja Guru Madrasah
Oleh: Anisa Siti Hodijah
Guru adalah kunci utama dalam peningkatan kualitas pendidikan. Sebaik apapun kurikulum, teknologi, maupun sarana prasarana pendidikan, jika guru tidak berdaya, maka tujuan pendidikan sulit tercapai. Di sinilah pentingnya memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja guru, termasuk aspek keadilan organisasi (organizational justice) dan perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior/OCB).
Penelitian yang dilakukan Anisa Siti Hodijah (2025) di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) se-Kabupaten Sumedang memberi gambaran menarik. Melalui metode survei terhadap 74 guru, penelitian ini menganalisis bagaimana keadilan organisasi dan OCB berpengaruh terhadap kinerja guru. Hasilnya cukup jelas: keadilan organisasi berkontribusi signifikan sebesar 57,6%, OCB berkontribusi 25,6%, dan keduanya secara simultan menyumbang 57,7% terhadap kinerja guru. Temuan ini memberi pelajaran penting, bukan hanya bagi dunia akademik, tetapi juga bagi praktisi pendidikan, terutama di lingkungan madrasah. Elaborassi Temuan Penelitian:
Pertama: Keadilan Organisasi: Fondasi Lingkungan Kerja Guru: Keadilan organisasi menurut Colquitt terbagi dalam tiga dimensi: distributive justice (keadilan dalam pembagian tugas dan penghargaan), procedural justice (keadilan dalam proses dan aturan organisasi), serta interactional justice (keadilan dalam interaksi antarindividu, termasuk penghormatan dan komunikasi). Â Bagi guru, rasa adil dalam organisasi bukan sekadar soal gaji atau tunjangan, tetapi juga kesempatan yang sama untuk berkembang, dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dan diperlakukan dengan penuh hormat. Ketika guru merasa diperlakukan adil, motivasi dan loyalitas mereka meningkat. Inilah yang menjelaskan mengapa keadilan organisasi berpengaruh lebih besar terhadap kinerja guru dibanding faktor lainnya.
Kedua: OCB: Lebih dari Sekadar Tugas Formal; Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku ekstra yang ditunjukkan individu di luar tugas formalnya. Organ (1988) membaginya dalam lima dimensi: altruism (sikap tolong-menolong), conscientiousness (ketaatan melebihi standar), civic virtue (partisipasi dalam kehidupan organisasi), courtesy (sikap saling menghormati), dan sportsmanship (toleransi dalam menghadapi keterbatasan).
Ketiga:Â Di dunia pendidikan, OCB tampak dalam sikap guru yang rela membantu rekan kerja tanpa diminta, ikut aktif dalam kegiatan sekolah meskipun di luar jam kerja, atau tetap menjaga semangat meski sarana prasarana terbatas. Sikap inilah yang membedakan guru "biasa" dengan guru yang benar-benar menjadi teladan. Penelitian di MAN Sumedang menunjukkan OCB memang berkontribusi terhadap kinerja, meskipun porsinya lebih kecil dibanding keadilan organisasi. Hal ini wajar, sebab perilaku ekstra sulit tumbuh jika fondasi keadilan dalam organisasi tidak kuat.
Keempat Implikasi bagi Pendidikan Madrasah; Hasil penelitian ini memberi setidaknya tiga pesan penting. 1) pihak madrasah perlu membangun sistem manajemen yang adil dan transparan. Mulai dari distribusi jam mengajar, kesempatan pelatihan, hingga mekanisme penilaian kinerja, semuanya harus berbasis keadilan. Guru yang merasa diperlakukan tidak adil akan cenderung bekerja sekadar menggugurkan kewajiban. 2) Kedua, budaya OCB perlu ditumbuhkan di lingkungan sekolah. Kepala madrasah dan pengawas bisa mendorong lahirnya perilaku kewargaan melalui keteladanan, penghargaan, serta iklim kolaboratif. Sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu, tetapi juga komunitas moral yang menumbuhkan solidaritas; 3) Ketiga, pemerintah daerah maupun Kementerian Agama harus memberi perhatian serius pada hasil penelitian semacam ini. Evaluasi UKG yang menunjukkan masih ada guru di bawah standar tidak bisa hanya dijawab dengan pelatihan teknis, tetapi juga dengan memperbaiki aspek keadilan dan budaya organisasi di sekolah.
Kelima: Refleksi: Menjadi Guru yang Adil dan Proaktif; Menariknya, keadilan organisasi bukan hanya tanggung jawab kepala sekolah atau birokrasi pendidikan, tetapi juga tanggung jawab guru itu sendiri. Guru pun harus berlaku adil pada murid-muridnya, memberi kesempatan yang sama, serta membangun interaksi yang penuh penghargaan. Dengan demikian, nilai keadilan bertransformasi dari sistem organisasi ke ruang kelas. Demikian pula OCB. Perilaku ekstra tidak bisa tumbuh hanya karena ada aturan, melainkan dari kesadaran dan komitmen moral. Guru yang rela mengorbankan waktu untuk mendampingi murid, atau yang tetap menjaga optimisme meski fasilitas terbatas, sejatinya sedang membangun budaya organisasi yang sehat.
Dari penelitian di MAN se-Kabupaten Sumedang, kita belajar bahwa keadilan organisasi dan perilaku kewargaan adalah dua pilar utama peningkatan kinerja guru. Tanpa keadilan, guru kehilangan motivasi. Tanpa OCB, organisasi pendidikan kering dari solidaritas dan dedikasi.