Kadang kita bangga disebut negara besar. Tapi pernahkah kita jujur bertanya, "Mengapa Indonesia belum juga menjadi negara maju?"
Sumber daya alam kita berlimpah, bonus demografi masih di depan mata, dan pembangunan infrastruktur terlihat di mana-mana. Namun, hingga kini, Indonesia masih terjebak di level pendapatan menengah atau yang dikenal dengan istilah middle income trap.
Sudah lebih dari setengah abad kita berjuang untuk keluar dari jebakan ini, kondisi ketika ekonomi tumbuh, tapi tidak cukup cepat untuk naik kelas menjadi negara maju.
Jika menengok sejarah, data pada tahun 1960-an menunjukkan pendapatan per kapita Indonesia sekitar 2% dari rata-rata negara maju. Enam dekade kemudian, di tahun 2022, angkanya meningkat menjadi sekitar 2,5%. Artinya, ekonomi kita memang tumbuh, namun kecepatannya masih terlalu lambat untuk mengejar negara seperti Korea Selatan atau Singapura, yang dalam periode waktu sama sudah melompat ke tingkat pendapatan tinggi.
Sebagai perbandingan, Korea Selatan di tahun 1960 memiliki pendapatan per kapita sekitar 2,3%, yang hampir setara dengan Indonesia kala itu. Namun, di tahun 2022, pendapatan mereka sudah di angka 4%.
Apa yang membedakan? Korea Selatan mampu mencatat pertumbuhan PDB dua digit sebanyak 20 kali. Dan contoh lain dari Tiongkok, mereka mencatat pertumbuhan PDB dua digit sebanyak 15 kali.Â
Sedangkan Indonesia? Hanya sekali, dan itu pun pada masa pemerintahan Orde Baru. Dan kini, pertumbuhan ekonomi kita stagnan di kisaran 5-6% saja.
Lalu Kenapa Kita Sulit Maju? Salah satu jawabannya ada pada struktur ekonomi.
Di Korea dan Tiongkok, pendorong pertumbuhan utamanya adalah sektor manufaktur, industri yang memberi nilai tambah tinggi dan menciptakan lapangan kerja besar. Mereka fokus membangun basis industri kuat yang menciptakan nilai tambah tinggi, menyerap tenaga kerja besar, dan menjadi mesin pertumbuhan PDB yang stabil.
Sedangkan di Indonesia, sektor manufaktur justru mengalami penurunan kontribusi terhadap PDB. Seolah-olah, "mesin" utama ekonomi kita perlahan dimatikan. Banyak pabrik tutup, investasi beralih ke sektor konsumsi dan komoditas mentah. Akibatnya, ekonomi memang tumbuh, tapi tanpa fondasi kuat.
Hal ini juga dipengaruhi oleh arah kebijakan ekonomi yang berubah di tiap era pemerintahan.
Dulu, pada masa pemerintahan Presiden SBY, penggerak utama ekonomi adalah sektor swasta (private sector). Strategi ini membuat pertumbuhan PDB mencapai 6%, karena konsumsi masyarakat naik cepat. Tapi risikonya, pertumbuhan itu tidak merata (contohnya banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa) dan kesenjangan ekonomi melebar.