Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ditembak Bujang Petani Millenial Dam Licin

5 November 2021   14:36 Diperbarui: 5 November 2021   14:48 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada yang lebih lucu dalam sebuah pernikahan selain ketimpangan usia, terutama pada perempuan yang menikahi lelaki jauh di bawah usia. Ini yang dirasa Mbak Day, perempuan setengah abad yang sedang ditembak bujang berusia 30 an.Jangankan dengan yang lebih muda dengan yang setara atau lebih tua sedikit saja dia enggan apalagi dengan bujang usia di bawahnya. Bagi Mbak Day menikah adalah masalah. Ini yang tertancap di otak jurnalis perempuan itu.

Sebagai janda, dia telah menikmati kesendirian. Sunyi adalah kawan, terbiasa. Tak  butuh lagi belaian. Senyum orang-orang yang bahagia karena liputannya lebih menantang ketimbang memikirkan lagi bermesraan. Apalagi dengan lelaki baru yang menurut mbak Day hanya akan menimbulkan masalah saja.

Beberapa orang pernah dekat, ada yang sangat dekat malah. Tetapi begitu pernikahan ditawarkan, spontan Mbak Day menolak. Duda beranak hingga lelaki yang sudah punya istri. Bahkan bujang senior wartawan tempatnya bekerja tak dimaui juga.

Satu alasan yang membuat mbak Day tidak mau menikah lagi. Tak mau lagi mengabdi.

Sudah lebih puluhan tahun hidupnya diserahkan pada satu-satunya lelaki, hingga dia pulang ke haribaan. Berkutat dengan rutinitas laiknya seorang istri. Mengurus rumah saja dan melayani suami. Dari pagi hingga ketemu pagi. Tidak ada sedikitpun waktu luang untuk dirinya bersenang-senang. Fokus hanya menyenangkan suami, mertua dan anak.

Meninggalnya suami, menjadi momen mbak Day menemukan dirinya sendiri. Anak-anaknya di asrama semua. Dia hidup sebatang kara.

Susah hidup sendiri mulanya, akan tetapi hobi lama yang kembali ditekuni bisa menjadi penopang. Jarinya bisa menghasilkan uang. Mbak Day kini jadi penulis novel online juga wartawan koran setelah melewati perjuangan berat. Berkat kawan lama yang menghubungkan kembali dengan dunia menulis.

Mbak Day menikmati betul profesi barunya itu. Slot sebagai wartawan khusus reportase wisata membuat hobi  jalan-jalan benar-benar tersalurkan. Bekerja sekaligus masuk ke tempat-tempat wisata gratisan, dengan layanan pula. Siapa yang tak mau? Cuma berbekal kartu pers wartawan.

Dunia ini begitu indah, ingin seluruh penjuru dijelajah.

"Kau tahu pekerjaanku kan?"


"Ya, kenapa?"


"Aku tidak bisa berpijak di sebuah tempat, apalagi mengurus rumah, menjadi istri."


"Aku tidak mencari pengurus rumah."


"Aku tak pandai memasak."


"Aku tak mencari koki."


"Aku sudah tua."


"Apa bedanya, kelakpun aku menua. Bersamamu."


Percakapan antara Mbak Day dan Shadeeq. Bujang itu membantah seluruh argumentasi penolakan mbak Day. Membuat aliran sungai di Dam Licin bersorak, makin deras menepuki kekalahan mbak Day berkata-kata.

Hening, Shadeeq membuat mulutnya terkatup. Kesendirian itu nikmat memang, akan tetapi ditemani begini, siapa yang tak suka?

Malu usia terlupakan. Shadeeq membuatnya kembali seperti perawan. Ikan-ikan di ceruk sungai berlompatan, menertawakan sipu malu yang muncul dari rona mbak Day. Sesuatu yang lama tak ia rasakan.

Baiklah, mungkin saja ini cinta. Tapi menikah? Dengan bujang? Mbak Day takut bermasalah.

"Ada aku di sisimu. Kita hadapi semuanya. Hanya satu yang kuminta darimu mbak."


"Apa."


"Cinta."


Geletar gusar menimpa kepala. Bujang ini masih membicarakan cinta setelah semua alasan diutarakan.


"Dengan keadaan diriku seperti ini?"


"Apa yang membuatku harus mundur?"


"Aku tak bisa selalu bersamamu, 

pekerjaanku seperti burung."


"Asal bersedia menetap di hatiku, ke manapun kau melanglang akan kuantar, atau bila tak bisa tetap kutunggu pulang. Kapanpun, larut sekalipun."

"Ah kau, kenapa tidak dahulu saja kau tercipta untukku?"

"Karena aku adalah masa depanmu."

Shadeeq bujang petani. Dia memilih menggarap sendiri lahan orang tuanya. Di saat pemuda seusia di desanya pergi merantau, mencari penghasilan lebih besar, menjadi kuli atau buruh bangunan yang uangnya bisa didapat setiap minggu. Lebih cepat dinikmati ketimbang bertani.

"Aku suka bertani mbak. Bukan hasil yang kunantikan, meski harus kuakui dapat uang dari hasil panen itu juga sangat menyenangkan."

"Trus, apa dong kalau bukan uang."

"Prosesnya. Menyemai benih, merawat, menatap jagung tumbuh dengan tongkol kekar, ini lebih menggairahkan dari pekerjaan apapun. Begitupula kalau aku sedang menanam padi, pergi ke sawah menunggui, menatap tumbuhnya setiap hari di sanalah sensasi. Tak bosan kudatangi dari fajar hingga redup mentari."

"Lalu kenapa kau kemari?" Tanya Mbak Day pada Shadeeq yang mendatanginya lepas duhur, di bibir sungai Dam Licin.

"Karena aku akan mengajakmu ke sawah. Di sana ada gubuk kecil kuundang Mbak k makan siang di sana."

Seperti menyenangkan. Menatap sawah, menikmati makan di tengah hamparan padi. Ini yang dibayangkan Mbak Day. Tak ada alasan menolak, apalagi ditemani bujang yang selama ini rajin menyapa sunyi hatinya.

Menyeberang sungai, bergandeng tangan, lewat pematang, Mbak Day dan Shadeeq sampai di gubuk tengah sawah. Sungai Dam Licin berada tepat di atas sawah Shadeeq.

Terlihat padi yang berdiri tegak menghijau, sehat. Tak nampak ada penyakit atau hama menggerogoti. Rupanya perawatan yang dilakukan Shadeeq cukup berhasil.

"Tumbuhan padimu bagus gitu,"celetuk Mbak Day pada Shadeeq yang mulai membuka bekal makanan dari rumah.

"Ya mbak Alhamdulillah. Semoga terus begini sampai panen tiba."

"Apa nih rahasianya, beda lo sama yang di sana," telunjuk Mbak Day mengarah pada kondisi sawah agak jauh dari tempat Shadeeq.

"Gak ada mbak, tidak ada rahasia. Bedanya mungkin hanya di pemupukan saja. Aku menggunakan pupuk murni organik tanpa buatan pabrik. Bikin sendiri. agak lebih lama panennya dibanding punya orang-orang, akan tetapi padi lebih sehat, harga juga lebih mahal. Label organik limited edition,"papar Shadeeq.

Membuat kagum Mbak Day. Lelaki di hadapan yang menemani makan ini tidak seperti yang lain. Enak diajak ngobrol. Kepalanya berisi. Membuat Mbak Day suka dengan Shadeeq. Petani millenial. Sukses meraup penghasilan  lewat bertani, sesuatu yang dijauhi anak muda jaman sekarang.

"Dari mana kau tahu ilmu-ilmu bertani terkini?"

"Ya dari ikut pelatihan-pelatihan. Juga suka menerapkan apa-apa yang diajarkan penyuluh atau anak KKN kalau mereka datang ke desa dan akun diundang ikut."

"Kau tak pernah ingin kuliah jurusan pertanian?"

"Ya inginlah. Tapi kalau kutinggal kuliah, siapa yang merawat tanamanku. Bapak ibuku sudah tua, tak mampu kalau harus bertani penuh. Jadi ya aku saja yang melakukan. Daripada sawah tak terurus atau dijual. Sayang."

Pandangan Shadeeq menatap jauh, menyapu seluruh lokasi sawah yang dia miliki dengan pohon Turi di beberapa titik lokasi.

"Sejak kapan kau menjadi petani?"

"Sejak kecil lah mbak, bapak ibuku sering mengajak kalau aku tak sekolah."

"Lalu sekarang, kenapa kau tetap bertani?  Bukankah kau telah tamat sekolah?"

"Ya mbak, aku suka ke sini. Tenang, nyaman. Pernah aku kerja menjadi karyawan pabrik, tapi tidak bisa menikmati. Aku tidak suka diperintah-perintah, bikin tertekan. Akhirnya kuputuskan kembali ke sini. Merawat padi seperti istri sendiri."

"Dih istri dibawa-bawa,  ngomong-ngomong kenapa kau tak menikah?"

"Karena belum ketemu Mbak."

"Isjh, ada-ada aja. Dulu sebelum ketemu aku."

"Manalah ada yang mau sama aku mbak. Jadi istri petani, itu tidak bergengsi. Hehe. Cuma mbak yang mau duduk denganku lama, tanpa risih. Makanya aku mau mbak jadi istriku."

Kelimpungan, Mbak Day tak bisa lagi melawan perkataan.

"Tapi aku tak bisa memberimu pengabdian."

"Cintailah diriku untuk selamanya. Cukup itu. Aku tahu mbak mau. Kita ke Pak Modin sekarang."

Gamit lengan kekar Shadeeq mengarah tangan mbak Day. Terasa berdesir, gemetar merajai debaran.

"Kenapa sekarang?"

"Ya bersiaplah mbak, tanya-tanya dulu. Apa yang harus kulakukan untuk pernikahan kita."

Sekali lagi, pelangi dan badai beradu mengunang di pandangan mbak Day. Dicubiti kulit tangannya, sakit. Berarti bukan mimpi. Memikirkan, bimbang dan ingin bergantian datang. Menikah? Jadi istri petani millenial sementara dirinya Millenium?

Apa kata dunia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun