Mohon tunggu...
Cahyani Yusep
Cahyani Yusep Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ani

Sederhana dan suka mempelajari hal hal yang baru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Part 1] Tak Kurasakan Lagi Cintamu untukku

20 Februari 2020   11:24 Diperbarui: 20 Februari 2020   11:39 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: keepo.me

Sengaja hari ini aku mendesaknya. Suamiku yang dulu penuh kasih sayang dan wibawa. Kini kosong dimataku.

Mas Rangga tak kuhargai lagi sejak itu. Sejak ia membohongiku demi mendapatkan pinjaman modal dari Kakaknya.

Semua terungkap ketika Ibunya berkunjung kerumah kami. Beliau sudah tua renta, ke kamar mandi pun sulit, harus ku bopong dan tak bisa kutinggal. 

Bukan aku tak menerimanya, kehidupan kami cukup pas-pasan. Anak kami pun masih bayi saat itu. Usianya baru saja 1 tahun. Sebut saja namanya Ali. 

Ali, anakku yang sangat sulit aku tinggal-tinggal. Diusianya saat itu, Ali masih gencar menyusu ASI. Antara ragu dan bimbang, akhirnya aku bersedia merawat Ibu mertuaku itu. 

Setiap hari, Ali menangis. Dalam gendongan ku, ku bopong pula mertuaku. Ali tak nyaman dalam pelukanku. Menggendong sambil menyusuinya, disisi yang lain aku bopong Ibu mertuaku ke kamar mandi, membuat Ali terhimpit. Dia menangis tak berhenti. 

Setiap hari begitu, dan tangisannya semakin sering disetiap harinya. Ibu mertuaku sering kali ingin ke kamar mandi. Hampir setiap jam aku mengantarnya ke kamar mandi. Selain itu, aku harus bersihkan ceceran Air kencingnya yang menetes dari kamar menuju kamar mandi. Belum lagi mataku ku konsentrasikan 2 arah. Satu mertuaku, satunya lagi Ali. Aku takut ia terpeleset. Sulit sekali menyuruh beliau mengenakan popok sekali pakai. Gatal, dan panas membuatnya tak nyaman. 

Mencuci dan memasak bukan menjadi perihal yang aneh untuk Ibu Rumah Tangga sepertiku. Tapi saat itu, terlalu lelah akhirnya aku membeli makanan yang sudah jadi saja. Itupun tak luput dari komentar Ibu mertua. Beliau bilang masakan ini tak enak, besok aku jangan membelinya lagi. Aku menurutinya saja. Walaupun didalam hati "ini rezeki yang harus disyukuri, karna kita tidak boleh mencela makanan".

Selama aku kecil dulu, Ustadz pernah bilang. Jika kita tidak menyukai sebuah makanan, lebih baik untuk tidak dimakan, tapi tidak dicela. 

Jangankan masakan orang lain, masakanku saja sering dikomentari. " Kenapa cabai nya dipotong-potong, tidak di haluskan? ", " Kenapa tidak pakai merica? " Padahal anakku tak bisa memakan merica, cabai, ataupun, jahe. 

Tak hanya itu, cara memotong ayaam pun harus sesuai dengan cara beliau memotongnya. Jika terlalu besar atau terlalu kecil, sudah habislah diomeli. 

Dalam kondisi lelah seperti itu, terkadang hati akan menjadi lebih sensitif. Melihat Mas Rangga pulang dan dia bisa duduk santai, rasanya ingin aku cincang saja tubuhnya. 

Mas Rangga selalu berusaha berangkat Pagi, kali ini Ali sakit demam karna sering menangis. Badannya panas sekali, Ali mengalami kejang demam karena tubuhnya tidak bisa menoleransi demam di tubuhnya.  Wajahnya picatinny membiru, setelah sadar aku larikan Ali ke rumah sakit. Aku telepon Mas Rangga untuk segera datang ke rumah sakit. 

Di rumah sakit, Ali tak diizinkan pulang. Ali harus dirawat karna mengalami 2x kejang selama 2 hari. Akhirnya kami menyetujuinya. 

Karena tak mungkin meninggalkan Ibu dirumah, Mas Rangga menemani Ibu di rumah. Dan aku menemani Ali di rumah sakit. 

Aku meneleponnya, "Mas, kasian Ali. Klo bisa carikan pembantu untuk dirumah agar aku bisa fokus ke Ali saat Ibu ingin ke kamar mandi. Selama ini Ali sering menangis. "

"Iya sayang dicarikan" Jawabnya. 

3hari Ali dan aku di rumah sakit. Akhirnya kami pulang. Rumah tanpaku terlihat begitu berantakan. 

Aku menaruh Ali dan melanjutkan beberapa rumah. Aku lihat Mas Rangga telungkup anak memegang HP nya. 

"Lagi apa Mas? " Tanyaku. 

"Lagi marketingin Bakso kita De! " Jawabnya. 

Mas Rangga seorang buruh pabrik, jadi kami harus nyari sampingan dengan berjualan bakso dari warung ke warung. Selain itu kami membuka PO juga melalui Online. 

Tapi saat itu aku marah. Aku sangat marah, ketika Ibu mau ke kamar mandi dan dia ada di hadapanku masih telungkup anak saja, sementara aku baru pulang dari rumah sakit, aku beberes rumah dan aku pula yang harus membawa Ibu ke kamar mandi. 

Saat itu aku berteriak "Mas bangun, Ibu mau ke kamar mandi" Suaraku agak keras. 

"Iya" Dia bangun dengan sangat lambat. 

Ibu sudah tidak tahan dan akhirnya tercecer lah kotoran Ibu di dalam kamar. Sontak aku kaget, capek, dan akhirnya menangia sambil menyusui Ali di kamarku. 

Aku tidak peduli apa yang terjadi setelah itu. Aku marah pada Mas Rangga. Dia membersihkan semuanya. 

"Aku mau pembantu Mas" Aku meneteskan air mataku. 

"Iya sayang aku lagi berusaha. Nyari pembantu itu susah."

Memang susah, memang sulit. Saat itu aku tidak berfikir berapa uang yang harus aku bayarkan jika aku membayar tenaga pembantu. 

Beberapa orang yang sudah datang kerumah tak mau menolongku karna harus mengurus Ibu. Padahal sudah ku jelaskan, urusan cuci, masak, dan Ali adalah tanggung jawab ku. Tetap mereka menolak. 

Suatu malam tiba, Ali sudah tidur dan setrikaan ku segunung. Aku menyetrika saja saat itu, ditemani Ibu duduk dikursi dan mengobrol ringan. 

"Teh Rika udah berapa bulan Bu? " Ku buka obrolan ku dengan menanyakan istri dari kakak suamiku yang tengah hamil muda. 

"Ohh, udah 4bulan..5bulan lagi lahiran. Makanya bilangin sama suamimu cepet bayar utang. " Beliau menjawab. 

Utang apa?  Dalam ingatanku Mas Rangga tidak punya hutang pada kakaknya. Aku mengangguk saja. Dan kupancing dengan pertanyaan lagi. 

"Ohh iya, emang kemarin udah bayar berapa?  Kalau gak salah dia udah bayar sebagian ya? " Aku memancing kebenaran dari hutang Mas Rangga. 

"Baru 2,5 juta. Kan sisanya masih 22,5 juta. " Jawabnya. 

Mendengar itu, otakku mendidih. Hatiku sakit, rasanya aku dibohongi. Hutang sebesar itu dia tak memberitahukannya padaku. 

Jadi selama ini kedai bakso yang dia buka adalah modal dari Kakaknya. Pantas saja dia sangat nurut pada kakaknya. 

Jika tidak ada pembantu, Ibu dikirim ke rumahku untuk ku urus. Katanya karna Mas Rangga anak yang tidak berbakti karna dia tidak tinggal bersama Ibu di Bekasi, maka Ibu yang dikirim kesini. Terlebih lagi, Mas Rangga anak yang jarang mengirim uang karna kami hidup cukup pas pasan. Matilah karakter Mas Rangga di mata Kakaknya itu. 

Aku tak pernah melarang Mas Rangga mengirim uang, dan aku selalu menyuruh Mas Rangga untuk menengok Ibu disana. Tapi Mas Rangga selalu bilang sibuk, tak punya waktu, nanti sajalah, dan alasan lainnya. 

Sudah kuingatkan jika nanti,  akan ada pembicaraan bahwa aku yang melarang Mas Rangga berbakti pada Ibunya. 

Benar saja. Ibu berbicara disini. Bahwa Ibu tidak menyukaiku, baru suka melihatku sejak aku repot mengurusnya. 

Astagfirullohal'adzim... 

Ibu juga bilang bahwa keluarga Mas Rangga selama ini tau aku menginginkan harta warisan mereka saja. Aku wanita yang tidak berbalas jasa karena telah mendapatkan Mas Rangga yang begitu getol mencari nafkah dan membuka usaha kedai Bakso. 

9 tahun aku menikah dengan Mas Rangga, ternyata dugaanku benar. Perlakuan mereka padaku selama ini berlandaskan pada dugaan salah mereka. Dan itu diperkuat dengan mempengaruhi Mas Rangga, untuk berbicara kasar dan selalu mengalahkanku setiap keluarganya mempunyai masalah. 

***

Masalah seperti apa yang dihadapi Anna? 

Apa yang dilakukan keluarga Mas Rangga pada Anna hingga Anna sakit? 

Tunggu kelanjutannya ya... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun