Mohon tunggu...
Anggraeni Eka
Anggraeni Eka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya seorang mahasiswa ilmu politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Permendikbud No.30 Tahun 2021

24 November 2021   21:07 Diperbarui: 24 November 2021   21:12 1816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Baru-baru ini Kemendikbud Ristek baru saja mengesahkan satu Peraturan mengenai Pencegahan dan Penanganan kekerasan seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi mengingat marak nya terjadi kasus kekerasan sexual di lingkungan kampus Peraturan ini disahkan melalui Permendikbud Nomor 30 tahun 2021. Kasus kekerasan sexual yang marak terjadi di wilayah kampus sering kali tidak terekspose ke ranah publik atau pun korbannya memilih untuk bungkam karena status yang dimiliki pelaku. Marak nya terjadi kasus pelecehan sexual antara dosen terhadap mahasiswa namun banyak nya mahasiswa yang bingung untuk melapor bahkan takut akan ancaman drop out atau pun resiko yang menanti perihal kegiatan akademik mereka membuat mereka akhirnya takut dan memilih diam terkait kasus pelecehan yang terjadi 

Perempuan sebagai kelompok identitas yang dipandang sebagai subordinat laki-laki dalam budaya masyarakat patriarki sering kali dianggap sebagai objek dan rentan akan pelecehan. Hal ini melanggar hak asasi perempuan itu untuk hidup tenang dan dihargai martabatnya. Perempuan merupakan kelompok yang paling rentang mengalami pelecehan seksual secara verbal dan nonverbal dimana berdasarkan data yang beredar tingkat pelecehan sexual paling tinggi pun selama ini terjadi kepada perempuan. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Ham saja pada tahun 2020 berdasarkan survey yang di sebar, Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus

Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Ristek telah melakukan survey mandiri di kampus-kampus di indonesia terkait kasus kekerasan seksual di tahun 2020. Yang mana hasil dari survei tersebut 77% dosen yang di survey menyatakan kekerasan seksual di kampus pernah terjadi (CNN Indonesia, 2021) , hal ini menjadi semakin mengerikan bahwa total 77% ini baru datang dari keterangan dosen saja. Mungkin akan semakin tinggi hasilnya jika survei dilakukan terhadap mahasiswa terutama kelompok perempuan sebagai kelompok yang rentan mengalami kekerasan seksual yang bahkan  bukan hanya terjadi di kampus saja tetapi juga sering di alami di ruang publik dalam kehidupan sehari - hari. Kampus yang seharusnya menjadi tempat aman untuk mengakses pendidikan tak luput dari rentan nya kasus kekerasan sexual baik yang terjadi antara mahasiswa atau yang mirisnya terjadi antara mahasiswa dan dosen. Dimana ketika kasus kekerasan seksual antara dosen dan mahasiswa terjadi mahasiswa menjadi kelompok yang rentan terutama mahasiswa perempuan. Ketika terjadi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen, posisi jabatan dan kewenangan yang mereka miliki membuat korban menjadi takut untuk melakukan speak up karna takut akan ancaman akademik yang mereka terima jika mereka speak up. Seringkali lingkungan pendidikan yang dianggap aman dan harus dicitrakan aman menjadi kendala untuk korban kekerasan seksual bersuara akan kasus yang dialami mengingat posisi dan status mereka yang tidak cukup kuat.

Dengan adanya Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi bisa menjadi payung perlindungan korban -korban yang mengalami kekerasan seksual di wilayah kampus untuk dapat terbuka dan bersuara dan mendapatkan jaminan perlindungan dan pencegahan terkait tindakan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Kelompok perempuan sebagai kelompok yang rentan mengalami kekerasan seksual kini dengan adanya permendikbud ini terlindung dan terbantu dalam mengadvokasi maupun mengatasi masalah kekerasan seksual di sekitar kampus. Tindakan - tindakan kekerasan seksual akan mendapatkan sanksi dengan landasan hukum yang sah berdasarkan permendikbud nomor 30 ini. Tindakan - tindakan yang membuat kelompok perempuan selama ini merasa tidak nyaman sangat di larang keras untuk di lakukan dengan adanya permendikbud ini memberikan kenyamanan dan ruang aman terhadap kelompok perempuan di lingkungan kampus tanpa perlu mengkhawatirkan tindakan - tindakan yang melecehkan atau pun membuat mereka tidak nyaman hal ini dilindungi oleh permendikbud nomor 30 tahun 2021 ini.

Selain itu dengan adanya permendikbud nomor 30 tahun 2021 ini di masyarakat dapat membangun budaya akan kesadaran tentang penting nya consent mengenai hal-hal terkait kekerasan seksual. Muncul nya permendikbud ini diharapkan dapat memupuk kesadaran masyarakat terutama dari mahasiswa sebagai calon penerus generasi penerus bangsa dengan memupuk budaya terkait kesadaran terhadap kasus kekerasan seksual dan pencegahan maupun penanganan kasus kekerasan seksual ini diharapkan kedepannya dapat menekan angka kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat terutama menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. Dengan adanya permendikbud ini diharapkan tidak hanya menjadi pedoman dalam menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan saja tapi dapat diterapkan di lingkungan bermasyarakat dengan menumbuhkan kesadaran tentang tindakan - tindakan apa saja yang termasuk kedalam kekerasan seksual dan mampu lebih menghargai sesama masyarakat dan tidak melakukan tindakan diskriminasi maupun pelecehan terkait tindakan kekerasan seksual. Budaya yang ditanamkan di kampus ini semoga kedepannya bisa berdampak dan diterapkan di masyarakat dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan generasi penerus bangsa. Mengingat di dalam budaya patriarki tindakan pelecehan seksual sudah mengakar dan dianggap sebagai gurauan semata padahal dampak nya sama saja melecehkan harga diri dan martabat orang lain. Penerapan permendikbud ini bisa mengedukasi masyarakat tentang tindakan-tindakan apa saja yang sebenarnya termasuk kedalam tindakan pelecehan seksual sehingga orang akan semakin aware. Selain itu dengan tercipta nya kesadaran ini di masyarakat karena telah terpupuk di lingkungan pendidikan yang merupakan sarana utama masyarakat dalam menuntut ilmu diharapkan dapat melahirkan ruang aman bagi masyarakat tanpa perlu merasa takut ketika harus beraktifitas karena sejatinya merasa aman di ruang publik adalah hak setiap masyarakat.

Tindakan Advokasi yang di terapkan dalam pemulihan dan pendampingan korban juga dapat membantu para mahasiswa atau pun akademisi untuk membantu sesama masyarakat jika ada korban ataupun kenalan yang mengalami tindakan kekerasan seksual mereka sudah teredukasi tentang apa yang seharusnya dilakukan dan mampu memberikan pendampingan atau bahkan pemulihan terhadap korban, sehingga permendikbud ini tidak hanya dapat membantu pengadvokasian di lingkungan kampus tetapi juga di masyarakat itu sendiri dalam menangani maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat. 

Namun di sisi lain setiap kebijakan baru tentu saja memiliki berbagai dinamika. Saat peraturan ini keluar tidak serta merta semua orang  menyetujuinya. Dalam perumusannya sebelum disahkan Permendikbud No. 30 tahun 2021 ini juga melewati pro dan kontra bahkan hingga saat ini masih hangat diperbincangkan. Respon masyarakat dan para akademisi cenderung terbagi menjadi dua kubu dimana kelompok identitas yang merasa bahwa payung hukum terhadap tindak kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia saat ini masih lemah tentu sangat mendukung Permendikbud ini sebagai titik balik untuk melindungi korban, akan tetapi kelompok masyarakat lain memiliki pandangan berbeda. Adanya diksi pada Pasal 5 Ayat (2) dalam Permendikbud No. 30 Tahun 2021 yang menyebutkan tentang sexual consent dalam bentuk frasa "tanpa persetujuan korban." yang kemudian menimbulkan tafsir bahwa pasal tersebut melegalisasi perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Hal ini tentu dianggap bertentangan dengan dasar-dasar pada Pancasila sebagai landasan ideologi negara, sehingga berpotensi membuat standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan persetujuan dari para pihak. Hal ini bisa dimaknai selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. Sehingga sampai saat ini permendikbud ini mengalami berbagai penolakan. 

Pro dan kontra dalam pengesahan Permendikbud ini kemudian menimbulkan konflik hegemoni antara kelompok progresif melawan kelompok konservatif pada konteks kelompok kepentingan dan identitas. Kelompok progresif melihat permendikbud sebagai langkah untuk menguatkan payung hukum terhadap para korban kekerasan seksual namun para konservatif melihat ini sebagai jalan menuju sesuatu yang berkaitan dengan pandangan liberal yang cenderung mengedepankan kebebasan pribadi dalam melakukan aktivitas dan meninggalkan nilai-nilai Pancasila yang ada. Diksi consent yang terdapat pada Pasal 5 Ayat (2) Permendikbud No. 30 tahun 2021 merupakan salah satu yang mengatur tentang posisi korban dalam kasus pelecehan seksual, dalam pandangan liberalisme perspektif proses yang berkarakter liberal mengasumsikan seluruh pesan media (apakah dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual) tak lebih sebagai informasi, bukan sebagai teks atau wacana yang bisa saja berasal dari subjektivitas dan ideologi penyusunnya. Jangkauan pemaknaan tidak tergantung pada pengalaman budaya dari receiver, yang dalam paradigma semiotik disebut sebagai 'pembaca' (reader). Hal inilah yang kemudian menimbulkan pengertian yang berbeda di berbagai kalangan atau dapat kita sebut sebagai multitafsir walaupun sejatinya peraturan ini bertujuan baik untuk menjadi sebuah payung hukum yang melindungi para korban pelecehan yang selama ini tidak memiliki power untuk membela diri. 

Kekerasan seksual di tengah masyarakat maupun di perguruan tinggi tidak cukup selesai dengan Permen PPKS. Perlu tindakan tegas dan solusi integral untuk mengubah semua keadaan ini, yaitu dari asasnya. Perlunya kelapangan hati Mendikbud Ristek Nadiem untuk mempertimbangkan revisi dalam diksi yang terdapat pada Permendikbud No. 30 tahun 2021 agar polemik yang terjadi sekarang dapat diakhiri dengan win-win solution untuk berbagai pihak. 

Ke depan, alangkah baiknya dalam hal penyusunan peraturan menteri itu  diundang para ahli hukum, ahli pendidikan, tokoh agama, dan ahli lainnya agar peraturan yang diterbitkan selain memiliki aspek legal-formal juga memiliki perspektif filosofis dan sosiologis yang baik. Selain itu, adakan diskusi terbuka secara intens dengan berbagai kalangan atau pemangku kepentingan untuk menampung aspirasi dan bahan masukan bagi pembentukan peraturan tersebut. Kemendikbud pun agar hati-hati dan cermat dalam merumuskan peraturan agar sesuai dengan jiwa dan ruh nilai-nilai Pancasila, konstitusi, dan budaya luhur bangsa. Alangkah lebih bijak, jika Kemendikbud selalu melibatkan berbagai pihak dalam merumuskan peraturan dan kebijakan. Publik sepakat bahwa pada dasarnya amat penting Permendikbud di atas sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Akan tetapi, tentunya muatan materi peraturan yang dibentuk tersebut harus berbasis living law atau kebiasaan yang hidup di masyarakat Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa. Dengan demikian, melalui berbagai upaya dan pertimbangan tersebut diharapkan peraturan yang diterbitkan mengakselerasi kebijakan pendidikan yang berkualitas, melahirkan legacy yang baik bagi generasi muda, menjaga moral bangsa, dan menjunjung tinggi marwah NKRI.

Bahwa peranan negara dalam memberikan perlindungan terhadap pencegahan dan penanganan kekerassan seksual di lingkungan pendidikan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pelindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi, perlu pengaturan yang menjamin kepastian hukum dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kemendikbud Ristek menyiapkan skema internal melalui platform digital bernama Lapor. Setiap korban di lingkungan kampus yang mendapat perlakuan kekerasan seksual dapat memberikan pengaduan di platform tersebut. Tindak lanjut pelaporan yang disampaikan melalui portal ini merupakan rekomendasi dari Kemendikbud Ristek kepada PT terkait dengan langkah-langkah yang perlu dilakukan sesuai dengan pengaturan dalam Permen PPKS. Dengan hadirnya Permendikbudristek PPKS merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan dari kekerasan seksual di perguruan tinggi yang disampaikan langsung oleh berbagai mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, guru besar, dan pemimpin perguruan tinggi yang disampaikan melalui berbagai kegiatan. Dalam konteks pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi, penting untuk mendudukkan semua aktor ke dalam posisi yang setara, melibatkan semua pihak untuk duduk bersama dalam upaya mencegah kekerasan seksual di perguruan tinggi. Seluruh elemen dalam komunitas akademik harus dilibatkan sebab membentuk kebijakan perlindungan dari kekerasan seksual akan menghadapi kondisi sosio-kultural yang sistemik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun