Mereka punya program kerja yang jelas dengan kinerja konkret. Ia ceritakan bagaimana blusukan dari rumah ke rumah mencari balita termasuk ibu-ibu hamil. Ia pantau kecukupan gizi balita dan ibu hamil itu secara berkala.
Mereka mengubah stunting menjadi masalah bersama yang harus dicarikan solusi bersama.
Ia yakinkan kepada semua orang bahwa kalau stunting terus-terusan di Surabaya, jangan harap kita punya generasi emas yang cemerlang. Bertubuh sehat dengan otak yang encer.
Stunting yang dibiarkan dan tidak diurus hanya menghasilkan generasi ringkih dan sulit bersaing. Maka Indonesia emas yang kita cita-citakan hanya slogan kosong saja.
Posyandu di Surabaya sudah next level. Ia juga melatih orang tuanya sekalian.
Ia bagikan wawasan utuh mengapa orang tua harus hebat. Ia kumpulkan para orang tua dalam sebuah kelas. Tiap Minggu ia dijejali materi dan praktik. Berganti-ganti pula tentornya.
Kampus di sekitar tempat tinggal dilibatkan. Ia ketuk pintu-pintu kampus, lalu ditagih bisa menyumbangkan apa? Kalaulah ilmu, ilmu yang seperti apa pula. Setidaknya niatan membebaskan stunting harus menjadi perjuangan yang membara.
Di kelas-kelas yang dibuat, tiap orang tua yang punya balita harus menuntaskan modul-modul pembelajaran anak. Macam-macam. Mulai bagaimana mengelola emosi, bagaimana mengajarkan etika, bagaimana mengajarkan bertutur kata, bagaimana hubungan ayah dan anak. Macam-macam.
Maklum, dari orang tualah anak terbentuk. Orang tua tangguh akan menghasilkan anak tangguh.
Melalui pelajaran dari posyandu itu, tak boleh lagi orang tua marah-marah di hadapan anak dengan mengumbar kata-kata kasar. Tak boleh lagi, seorang ayah marah bukan main kepada anaknya karena hal sepele. Impitan ekonomi, rumah yang sumpek, kerap membuat emosi orang tua kerap terpicu dan meledak. Maka, jangan heran bila generasi pemarah itu pula yang kita hasilkan kelak.
Kini, emosi orang tua harus lebih terkelola. Bagaimana, mengubah emosi yang meledak menjadi elusan perhatian yang mengena.