Di tengah gempuran tuntutan kerja, ambisi tanpa henti, dan glorifikasi kesibukan, muncul sebuah gerakan hidup yang justru mengajak kita untuk pelan-pelan: soft life. Gaya hidup ini mulai digemari anak muda yang merasa lelah dengan ritme hidup serba cepat. Mereka mulai memilih hidup yang lebih tenang, tidak melulu mengejar pencapaian, dan lebih fokus pada kesehatan mental serta keseimbangan hidup. Tapi apakah ini bentuk kemunduran, atau justru kebangkitan cara hidup yang lebih waras?
Selama bertahun-tahun, kita dibesarkan dengan narasi bahwa kesuksesan hanya bisa diraih lewat kerja keras tanpa henti. Lembur dianggap keren, bekerja sampai larut malam dipuji, dan waktu istirahat seringkali dilihat sebagai bentuk kemalasan. Semakin sibuk seseorang, semakin besar pula kesan bahwa hidupnya produktif dan 'bernilai'.
Budaya ini dikenal sebagai hustle culture mengakar begitu kuat di masyarakat urban, terutama generasi milenial dan Gen Z. Kita bangga menjadi workaholic, berlomba-lomba mengejar pencapaian, dan bahkan merasa bersalah saat sedang tidak 'melakukan apa-apa'.
Namun, di balik pencapaian itu semua, banyak yang diam-diam merasa kosong. Burnout jadi hal umum, kecemasan meningkat, dan hidup terasa seperti perlombaan tanpa garis akhir. Inilah titik balik munculnya soft life.
Soft life adalah gaya hidup yang menolak narasi bahwa kita harus selalu berjuang keras untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Gaya hidup ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan kapitalisme modern yang menuntut produktivitas tanpa henti.
Istilah ini mulai populer di kalangan anak muda Afrika-Amerika di media sosial, lalu menyebar secara global. Di Indonesia, tren ini mulai terasa di TikTok, Twitter, bahkan konten-konten podcast dan YouTube yang membahas healing, hidup seimbang, dan menolak overwork.
Orang yang memilih soft life bukan berarti pemalas. Mereka tetap bekerja, tetap berusaha, tapi dengan sadar menentukan batas. Mereka memilih pekerjaan yang memberi ruang untuk hidup, bukan sekadar bertahan. Mereka mengutamakan waktu untuk keluarga, istirahat, rekreasi, dan merawat diri.
Contoh Nyata Soft Life:
- Seseorang menolak promosi jabatan karena tahu tanggung jawabnya akan merusak keseimbangan hidup.
- Seorang freelancer menolak klien tambahan demi mempertahankan waktu istirahat.