Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"Lukisan Kaligrafi" Gus Mus yang Penuh Hikmah

25 April 2020   14:26 Diperbarui: 25 April 2020   14:34 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Lukisan Kaligrafi karya Gus Mus | Dok. pribadi

Saya begitu mengagumi banyak tokoh. Dari para tokoh tersebut saya belajar banyak. Salah satunya adalah KH. A. Mustofa Bisri atau sering disapa Gus Mus. Sampai saat ini saya belum pernah berjumpa dengan beliau. Ingin sekali saya mencium tangannya dan mendengarkan kata-kata hikmah dari beliau. Semoga harapan ini dapat tercapai suatu saat. Kita doakan agar beliau selalu sehat dan dapat memberikan pencerahan kepada umat.

Perkenalan awal saya dengan Gus Mus bukan melalui ceramah-ceramahnya, artikel-artikel seriusnya di media masa, atau buku-buku agama yang ditulisnya. Saya mengenal beliau dari kumpulan cerpen yang telah dibukukan berjudul "Lukisan Kaligrafi".

Lukisan Kaligrafi merupakan kumpulan cerpen Gus Mus yang dimuat di berbagai media cetak mulai dari Kompas, Suara Merdeka, Media Indonesia, dan Jawa Pos. Beberapa cerpen lainnya belum pernah dipublikasikan. Gus Mus memami Kiai serba bisa. Ia menulis artikel pendek di koran, menulis puisi, menulis cerpen, melukis, menulis buku-buku agama, dan lain sebagainya.

Saya membeli buku ini di Gramedia Bekasi ketika masih pesantren dulu (SMA), sekitar tahun 2005. Sudah lama sekali memang, lima belas tahun lalu. Meski sudah lama membelinya hingga saat ini buku kumpulan cerpen ini saya seringkali baca berulang-ulang. Buku tipis ini sangat mempengaruhi cara pandang saya terkait agama. Buku ini jelas bukan soal pelajaran agama tetapi isi ceritanya begitu bertaburan dengan hikmah. Buku ini dieditori oleh penulis favorit saya lainnya, Joko Pinurbo.

Perjumpaan awal dengan Gus Mus melalui buku kumpulan cerpennya membawa saya ke pemikiran-pemikiran beliau yang begitu banyak terserak. Internet memudahkan saya menelusuri berbagai karyanya juga ceramah-ceramahnya. Apalagi beliau adalah sosok ulama sepuh yang masih sangat aktif di sosial media. Ia memiliki website pribadi, kita bisa mengksesnya di gusmus.net. Selain itu twitter, FB dan Instagramnya sangat aktif. Jadi lebih mudah untuk mengikuti berbagai karyanya.

Kembali soal buku Lukisan Kaligrafi. Di buku ini ada 16 cerpen dan menurut saya pribadi sangatlah bagus. Saya bukan kritikus sastra juga bukan orang yang membaca karya-karya sastra dengan telaten. Saya hanya penikmat karya-karya sastra. Dan saya sangat menikmati membaca cerpen-cerpen di buku ini. Sehingga tulisan ini jelas merupakan tulisan dari seorang pengagum.

Ada begitu banyak pelajaran yang dapat diambil dari cerpen di buku Lukisan Kaligrafi ini. Tulisannya sangat terkait dengan dunia pesantren, mungkin karena itu terasa relevan dengan kondisi saya yang ketika itu sedang menjalani kehidupan pesantren.

Dari 16 cerpen yang bagus-bagus itu saya sangat menggemari cerpen Gus Jakfar, Amplop Abu-abu, Lukisan Kaligrafi, Ndara Mba Amit, dan Mbok Yem. Tulisan ini seperti magis bagi saya.

Bagi saya, indikator buku bagus adalah ketika saya berminat untuk membacanya berulang-ulang. Lukisan Kaligrafi adalah jenis buku tersebut. Tentu saja ini penilaian yang sangat subjektif.

Di cerpen Gus Jakfar misalnya ada kalimat bertenaga dan penuh hikmah. "Sebagai Kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, tetapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?"

Di cerpen tersebut Gus Mus mengajak kita untuk tidak suudzon (berprasangka buruk) terhadap siapapun. Ia melanjutkan "Orang susah silit kau bayangkan bersikap takbbur, ujub, atau sikap-sikap lain yang membesarkan diri sendiri".

Sementara di cerpen Amplop Abu-abu ia mengkritik fenomena maraknya pengajian namun tidak berkorelasi kepada perbaikan diri. Juga kepada para penceramah yang asyik berceramah tetapi justru lupa terhadap apa yang ia sampaikan kepada para jamaahnya. Bahwa kadang memang bicara lebih mudah dari pada mempraktikan apa yang dibicarakan. Kelemahan para dai adalah asyik bicara namun lupa pada apa yang disampaikannya.

Gus Mus menulis, "Kalau pengajian-pengajian itu jelas pengaruhnya pada jamaah sih tidak masalah. Ini tidak. Pengajian-pengajian yang begitu intens dan begitu tinggi volumenya itu sepertinya hanya masuk kuping kanan dan langsung keluar lagi dari kuping kiri. Tak membekas. Buktinya mereka yang bakhil ya tetap bakhi; yang hatinya kejam ya tetap kejam; yang suka berkelahi dengan saudaranya ya masih terus berkelahi; yang bebal terhadap penderitaan sesama juga tidak kunjung menjadi peka; yang suka menang-menangan ya tidak insaf. Pendek kata seolah-olah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mental mereka yang diberi pengajian".

Fenomena yang Gus Mus sampaikan melalui cerpennya medio 2003 masih sangat relevan dengan konteks kekinian. Apalagi sekarang dengan mudah kita dapat mengakses beragam ceramah di internet.

Di paragraf lain beliau menulis, "Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang pernah aku ceramahkan di tempat-tempat di mana kau menerima amplop itu. Ternyata aku tidak bisa mengingatnya. Bahkan aku tidak inga tapa saja yang aku bicarakan pada kesempatan-kesempatan lainnya. Ternyata aku lupa semua yang pernah aku katakana sendiri. Ah."

Masih begitu banyak kata-kata yang menegur perilaku kita dalam beragama. Yang merasa sok-sokan karena lebih baik dari segi intensitas, lebih banyak mengaji, dan lebih-lebih lainnya. Seperti puisi-puisi karyanya yang selalu menggelitik, cerpen-cerpen beliau pun saya rasa seperti itu. Memberikan pandangan lain dari cara beragama orang-orang dewasa ini.

Meski cerpen tersebut diterbitkan di media dalam kurun waktu 2002-2003 saya merasa tetap relevan hingga kini. Mungkin, di bulan Ramadan ini buku Lukisan Kaligrafi bisa menemani kita yang sedang berpuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun